Google
 

Sunday, April 20, 2008

UU RI NO. 25 THN 2003


1
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 25 TAHUN 2003
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002
TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa agar upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
pencucian uang dapat berjalan secara efektif, maka Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang perlu
disesuaikan dengan perkembangan hukum pidana tentang pencucian
uang dan standar internasional;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf
a, perlu mengubah Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 30,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4191);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan
: UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG.
2
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor
30, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4191) diubah sebagai
berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 angka 4 dan angka 6 diubah, dan menambah 2 (dua) angka
baru, sehingga keseluruhan Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pencucian Uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer,
membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan,
menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan
lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga
merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan,
atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehingga seolah-olah
menjadi Harta Kekayaan yang sah.
2. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi.
3. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi
baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
4. Harta Kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak
bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud.
5. Penyedia Jasa Keuangan adalah setiap orang yang menyediakan jasa di
bidang keuangan atau jasa lainnya yang terkait dengan keuangan
termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan,
perusahaan efek, pengelola reksa dana, kustodian, wali amanat,
lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana
pensiun, perusahaan asuransi, dan kantor pos.
6. Transaksi adalah seluruh kegiatan yang menimbulkan hak atau kewajiban
atau menyebabkan timbulnya hubungan hukum antara dua pihak atau
lebih, termasuk kegiatan pentransferan dan/atau pemindahbukuan dana
yang dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan.
7. Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah:
a. transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau
kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan;
b. transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan
dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang
bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan
sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini; atau
c. transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan
menggunakan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak
pidana.
3
8. Transaksi Keuangan yang Dilakukan Secara Tunai adalah transaksi
penarikan, penyetoran, atau penitipan yang dilakukan dengan uang
tunai atau instrumen pembayaran lain yang dilakukan melalui Penyedia
Jasa Keuangan.
9. Dokumen adalah data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat,
dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa
bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik
apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk
tetapi tidak terbatas pada:
a. tulisan, suara, atau gambar;
b. peta, rancangan, foto, atau sejenisnya;
c. huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau
dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau
memahaminya.
10
.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang selanjutnya
disebut PPATK adalah lembaga independen yang dibentuk dalam
rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang.”
2. Ketentuan Pasal 2 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 2 berbunyi sebagai
berikut:
“Pasal 2
(1) Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak
pidana:
a. korupsi;
b. penyuapan;
c. penyelundupan barang;
d. penyelundupan tenaga kerja;
e. penyelundupan imigran;
f. di bidang perbankan;
g. di bidang pasar modal;
h. di bidang asuransi;
i. narkotika;
j. psikotropika;
k. perdagangan manusia;
l. perdagangan senjata gelap;
m. penculikan;
n. terorisme;
o. pencurian;
p. penggelapan;
q. penipuan;
r. pemalsuan uang;
s. perjudian;
t. prostitusi;
u. di bidang perpajakan;
v. di bidang kehutanan;
w. di bidang lingkungan hidup;
x. di bidang kelautan; atau
4
y. tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana penjara 4
(empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara
Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik
Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak
pidana menurut hukum Indonesia.
(2) Harta Kekayaan yang dipergunakan secara langsung atau tidak langsung
untuk kegiatan terorisme dipersamakan sebagai hasil tindak pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n.”
3.
Ketentuan Pasal 3 ayat (1) diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 3
(1) Setiap orang yang dengan sengaja:
a. menempatkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana ke dalam Penyedia Jasa
Keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain;
b. mentransfer Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana dari suatu Penyedia Jasa
Keuangan ke Penyedia Jasa Keuangan yang lain, baik atas nama
sendiri maupun atas nama pihak lain;
c. membayarkan atau membelanjakan Harta Kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana,
baik perbuatan itu atas namanya sendiri maupun atas nama pihak
lain;
d. menghibahkan atau menyumbangkan Harta Kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana,
baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
e. menitipkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun
atas nama pihak lain;
f. membawa ke luar negeri Harta Kekayaan yang diketahuinya atau
patut diduganya merupakan hasil tindak pidana; atau
g. menukarkan atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana
dengan mata uang atau surat berharga lainnya, dengan
maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta
Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil
tindak pidana, dipidana karena tindak pidana pencucian uang
dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama
15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00
(seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,00 (lima
belas milyar rupiah).”
4. Ketentuan Pasal 6 ayat (1) diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
5
Pasal 6
(1) Setiap orang yang menerima atau menguasai :
a. penempatan;
b. pentransferan;
c. pembayaran;
d. hibah;
e. sumbangan;
f. penitipan; atau
g. penukaran,
Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan
hasil tindak pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling
sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).”
5. Ketentuan Pasal 9 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 9
Setiap orang yang tidak melaporkan uang tunai berupa rupiah sejumlah Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau lebih atau mata uang asing yang
nilainya setara dengan itu yang dibawa ke dalam atau ke luar wilayah Negara
Republik Indonesia, dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 300.000.000,00
(tiga ratus juta rupiah).”
6. Di antara Pasal 10 dan Pasal 11 disisipkan 1 (satu) pasal baru menjadi Pasal
10A yang berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 10A
(1) Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan
siapapun juga yang memperoleh dokumen dan/atau keterangan dalam
rangka pelaksanaan tugasnya menurut Undang-Undang ini, wajib
merahasiakan dokumen dan/atau keterangan tersebut kecuali untuk
memenuhi kewajiban menurut Undang-Undang ini.
(2) Sumber keterangan dan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan
wajib dirahasiakan dalam persidangan pengadilan.
(3) Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan
siapapun juga yang karena kelalaiannya melanggar ketentuan pada ayat
(1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun.
(4) Jika pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) dilakukan dengan sengaja, pelaku dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun.”
7. Ketentuan Pasal 13 ayat (1), ayat (2) dan ayat (5) diubah serta menambah 2
(dua) ayat baru menjadi ayat (1a) dan ayat (6a), sehingga berbunyi sebagai
berikut:
6
Pasal 13
(1) Penyedia Jasa Keuangan wajib menyampaikan laporan kepada PPATK
sebagaimana dimaksud dalam Bab V, untuk hal-hal sebagai berikut:
a. Transaksi Keuangan Mencurigakan;
b. Transaksi Keuangan yang Dilakukan Secara Tunai dalam jumlah
kumulatif sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau
lebih atau mata uang asing yang nilainya setara, baik dilakukan
dalam satu kali transaksi maupun beberapa kali transaksi dalam 1
(satu) hari kerja.
(1a) Perubahan besarnya jumlah Transaksi Keuangan yang Dilakukan
Secara Tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan
dengan Keputusan Kepala PPATK.
(2) Penyampaian laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan paling lambat 3 (tiga) hari
kerja setelah Penyedia Jasa Keuangan mengetahui adanya unsur
Transaksi Keuangan Mencurigakan.
(3) Penyampaian laporan Transaksi Keuangan yang Dilakukan Secara
Tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan paling
lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal transaksi
dilakukan.
(4) Kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak
berlaku untuk transaksi yang dikecualikan.
(5) Transaksi yang dikecualikan dari kewajiban pelaporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) meliputi transaksi antarbank, transaksi dengan
Pemerintah, transaksi dengan bank sentral, pembayaran gaji, pensiun,
dan transaksi lainnya yang ditetapkan oleh Kepala PPATK atau atas
permintaan Penyedia Jasa Keuangan yang disetujui oleh PPATK.
(6) Penyedia Jasa Keuangan wajib membuat dan menyimpan daftar transaksi
yang dikecualikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(6a) Penyedia Jasa Keuangan dapat dikecualikan untuk tidak membuat dan
menyimpan daftar transaksi yang dikecualikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (6) untuk jangka waktu 1 (satu) tahun sejak pengecualian
diberikan.
(7) Ketentuan mengenai bentuk, jenis, dan tata cara penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Kepala PPATK.”
8. Ketentuan Pasal 15 diubah, sehingga Pasal 15 berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 15
Penyedia Jasa Keuangan, pejabat, serta pegawainya tidak dapat dituntut baik
secara perdata maupun pidana atas pelaksanaan kewajiban pelaporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.”
9. Ketentuan Pasal 16 ayat (1) dan ayat (5) diubah, sehingga berbunyi sebagai
berikut:
7
“Pasal 16
(1) Setiap orang yang membawa uang tunai berupa rupiah sejumlah Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau lebih, atau mata uang asing
yang nilainya setara dengan itu ke dalam atau ke luar wilayah Negara
Republik Indonesia, harus melaporkan kepada Direktorat Jenderal Bea
dan Cukai.
(2) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai wajib menyampaikan laporan tentang
informasi yang diterimanya selama jangka waktu 5 (lima) hari kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada PPATK.
(3) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai wajib memberitahukan kepada
PPATK paling lambat 5 (hari) kerja setelah mengetahui adanya
pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga harus memuat
rincian mengenai identitas orang yang membuat laporan.
(5) Apabila diperlukan, PPATK dapat meminta informasi tambahan dari
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mengenai uang tunai berupa rupiah
sejumlah Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau lebih atau mata
uang asing yang nilainya setara dengan itu yang dibawa oleh setiap
orang dari atau ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia.”
10. Di antara Pasal 17 dan Pasal 18 disisipkan 1 (satu) pasal baru menjadi Pasal
17A, yang berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 17A
(1) Direksi, pejabat, atau pegawai Penyedia Jasa Keuangan dilarang
memberitahukan kepada pengguna jasa keuangan atau orang lain baik
secara langsung ataupun tidak langsung dengan cara apapun mengenai
laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang sedang disusun atau
telah disampaikan kepada PPATK.
(2) Pejabat atau pegawai PPATK, serta penyelidik/penyidik dilarang
memberitahukan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan kepada
pengguna jasa keuangan yang telah dilaporkan kepada PPATK atau
penyidik secara langsung atau tidak langsung dengan cara apapun.
(3) Direksi, pejabat atau pegawai Penyedia Jasa Keuangan, pejabat atau
pegawai PPATK serta penyelidik/penyidik yang melakukan pelanggaran
atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah).”
11. Penjelasan Pasal 25 ayat (3) diubah sebagaimana tercantum dalam
penjelasan.
12. Ketentuan Pasal 26 diubah dengan menambah huruf baru yaitu huruf i,
sehingga berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 26
Dalam melaksanakan fungsinya, PPATK mempunyai tugas sebagai berikut:
8
a. mengumpulkan, menyimpan, menganalisis, mengevaluasi informasi
yang diperoleh PPATK sesuai dengan Undang-Undang ini;
b. memantau catatan dalam buku daftar pengecualian yang dibuat oleh
Penyedia Jasa Keuangan;
c. membuat pedoman mengenai tata cara pelaporan Transaksi Keuangan
Mencurigakan;
d. memberikan nasihat dan bantuan kepada instansi yang berwenang
tentang informasi yang diperoleh PPATK sesuai dengan ketentuan
dalam Undang-Undang ini;
e. membuat pedoman dan publikasi kepada Penyedia Jasa Keuangan
tentang kewajibannya yang ditentukannya dalam Undang-Undang ini
atau dengan peraturan perundang-undangan lain, dan membantu dalam
mendeteksi perilaku nasabah yang mencurigakan;
f. memberikan rekomendasi kepada Pemerintah mengenai upaya-upaya
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang;
g. melaporkan hasil analisis transaksi keuangan yang berindikasi tindak
pidana pencucian uang kepada Kepolisian dan Kejaksaan;
h. membuat dan memberikan laporan mengenai hasil analisis transaksi
keuangan dan kegiatan lainnya secara berkala 6 (enam) bulan sekali
kepada Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, dan lembaga yang
berwenang melakukan pengawasan terhadap Penyedia Jasa Keuangan;
i. memberikan informasi kepada publik tentang kinerja kelembagaan
sepanjang pemberian informasi tersebut tidak bertentangan dengan
Undang-Undang ini.”
13.
Ketentuan Pasal 29 ayat (2) diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
”Pasal 29
(1) Setiap tahun PPATK wajib menyusun Rencana Kerja dan Anggaran
Tahunan.
(2) Anggaran Tahunan PPATK bersumber dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara.”
14. Menambah ketentuan baru sesudah Pasal 29 yaitu Pasal 29A dan Pasal 29B,
yang berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 29A
Pengaturan kepegawaian, sistem penggajian, penghargaan, tunjangan
jabatan, tunjangan hari tua, serta penghasilan lainnya bagi pejabat dan
pegawai PPATK ditetapkan dengan Keputusan Presiden sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.”
“Pasal 29B
Untuk lebih mengefektifkan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
pencucian uang, Presiden dapat membentuk Komite Koordinasi Nasional atas
usul Kepala PPATK.”
9
15. Ketentuan Pasal 33 ayat (4) diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 33
(1) Untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak pidana pencucian
uang maka penyidik, penuntut umum atau hakim berwenang untuk
meminta keterangan dari Penyedia Jasa Keuangan mengenai Harta
Kekayaan setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK, tersangka,
atau terdakwa.
(2) Dalam meminta keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
terhadap penyidik, penuntut umum, atau hakim tidak berlaku ketentuan
undang-undang yang mengatur tentang rahasia bank dan kerahasiaan
transaksi keuangan lainnya.
(3) Permintaan keterangan harus diajukan secara tertulis dengan
menyebutkan secara jelas mengenai:
a. nama dan jabatan penyidik, penuntut umum, atau hakim;
b. identitas setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK,
tersangka, atau terdakwa;
c. tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan; dan
d. tempat Harta Kekayaan berada.
(4) Surat permintaan untuk memperoleh keterangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus ditandatangani oleh:
a. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Kepala
Kepolisian Daerah dalam hal permintaan diajukan oleh penyidik;
b. Jaksa Agung Republik Indonesia atau Kepala Kejaksaan Tinggi
dalam hal permintaan diajukan oleh penuntut umum;
c. Hakim Ketua Majelis yang memeriksa perkara yang bersangkutan.”
16. Ketentuan BAB VIII diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
“BAB VIII
BANTUAN TIMBAL BALIK
DALAM MASALAH TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
Pasal 44
(1) Dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian
uang, dapat dilakukan kerja sama bantuan timbal balik di bidang hukum
dengan negara lain melalui forum bilateral atau multilateral sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Kerja sama bantuan timbal balik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ini dapat dilaksanakan dalam hal negara dimaksud telah mengadakan
perjanjian kerja sama bantuan timbal balik dengan Negara Republik
Indonesia atau berdasarkan prinsip resiprositas.
(3) Permintaan kerja sama bantuan timbal balik dari dan ke negara lain
disampaikan kepada dan oleh Menteri yang bertanggung jawab di
bidang hukum dan perundang-undangan.
10
(4) Menteri dapat menolak permintaan kerja sama bantuan timbal balik dari
negara lain dalam hal tindakan yang diajukan oleh negara lain tersebut
dapat mengganggu kepentingan nasional atau permintaan tersebut
berkaitan dengan penuntutan kasus politik atau penuntutan yang
berkaitan dengan suku, agama, ras, kebangsaan, atau sikap politik
seseorang.
Pasal 44A
(1) Kerja sama bantuan timbal balik dengan negara lain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 44 antara lain meliputi:
a. pengambilan barang bukti dan pernyataan seseorang, termasuk
pelaksanaan surat rogatori;
b. pemberian barang bukti berupa dokumen dan catatan lain;
c. identifikasi dan lokasi keberadaan seseorang;
d. pelaksanaan permintaan untuk pencarian barang bukti dan
penyitaan;
e. upaya untuk melakukan pencarian, pembekuan, dan penyitaan
hasil kejahatan;
f. mengusahakan persetujuan orang-orang yang bersedia
memberikan kesaksian atau membantu penyidikan di negara
peminta;
g. bantuan lain yang sesuai dengan tujuan pemberian kerja sama
timbal balik yang tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan.
(2) Dalam rangka melakukan kerja sama bantuan timbal balik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Menteri yang bertanggung jawab di bidang
hukum dan peraturan perundang-undangan dapat meminta pejabat
yang berwenang untuk melakukan tindakan kepolisian berupa
penggeledahan, pemblokiran, penyitaan, pemeriksaan surat,
pengambilan keterangan, atau hal-hal lain yang sesuai dengan
ketentuan dan persyaratan sebagaimana diatur dalam Hukum Acara
Pidana dan Undang-Undang ini.
(3) Barang bukti, pernyataan, dokumen, atau catatan lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan alat bukti yang digunakan dalam
pemeriksaan tindak pidana pencucian uang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.”
17. Di antara Bab VIII dan Bab IX ditambah 1 (satu) bab baru menjadi Bab VIIIA
tentang Ketentuan Lain, yang berisi 1 (satu) pasal sehingga berbunyi sebagai
berikut:
11
“BAB VIIIA
KETENTUAN LAIN
Pasal 44B
Dalam hal ada perkembangan konvensi internasional atau rekomendasi
internasional di bidang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
pencucian uang, PPATK dapat melaksanakan ketentuan tersebut menurut
Undang-undang ini sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
Pasal II
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undangundang
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 13 Oktober 2003
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 13 Oktober 2003
SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 108
12
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 25 TAHUN 2003
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002
TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
I. UMUM
Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya di bidang
komunikasi telah menyebabkan terintegrasinya sistem keuangan termasuk sistem perbankan
yang menawarkan mekanisme lalu lintas dana antarnegara yang dapat dilakukan dalam
waktu yang sangat singkat. Keadaan ini di samping mempunyai dampak positif, juga
membawa dampak negatif bagi kehidupan masyarakat yaitu dengan semakin meningkatnya
tindak pidana yang berskala nasional maupun internasional, dengan memanfaatkan sistem
keuangan termasuk sistem perbankan untuk menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul
dana hasil tindak pidana (money laundering).
Berkenaan dengan itu dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
pencucian uang, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang. Namun, ketentuan dalam Undang-Undang tersebut
dirasakan belum memenuhi standar internasional serta perkembangan proses peradilan
tindak pidana pencucian uang sehingga perlu diubah, agar upaya pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pencucian uang dapat berjalan secara efektif.
Perubahan dalam Undang-Undang ini antara lain meliputi:
a. Cakupan pengertian Penyedia Jasa Keuangan diperluas tidak hanya bagi setiap orang
yang menyediakan jasa di bidang keuangan tetapi juga meliputi jasa lainnya yang terkait
dengan keuangan. Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi pelaku tindak pidana
pencucian uang yang memanfaatkan bentuk Penyedia Jasa Keuangan yang ada di
masyarakat namun belum diwajibkan menyampaikan laporan transaksi keuangan dan
sekaligus mengantisipasi munculnya bentuk Penyedia Jasa Keuangan baru yang belum
diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002.
b. Pengertian Transaksi Keuangan Mencurigakan diperluas dengan mencantumkan
transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan Harta
Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.
c. Pembatasan jumlah hasil tindak pidana sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) atau lebih, atau nilai yang setara yang diperoleh dari tindak pidana dihapus,
karena tidak sesuai dengan prinsip yang berlaku umum bahwa untuk menentukan suatu
perbuatan dapat dipidana tidak tergantung pada besar atau kecilnya hasil tindak pidana
yang diperoleh.
13
d. Cakupan tindak pidana asal (predicate crime) diperluas untuk mencegah
berkembangnya tindak pidana yang menghasilkan Harta Kekayaan dimana pelaku
tindak pidana berupaya menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul hasil tindak
pidana namun perbuatan tersebut tidak dipidana.
Berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait yang mempidana tindak pidana
asal antara lain:
- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika;
- Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika;
- Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
e. Jangka waktu penyampaian laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan dipersingkat,
yang semula 14 (empat belas) hari kerja menjadi tidak lebih dari 3 (tiga) hari kerja
setelah Penyedia Jasa Keuangan mengetahui adanya unsur Transaksi Keuangan
Mencurigakan. Hal ini dimaksudkan agar Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil
tindak pidana dan pelaku tindak pidana pencucian uang dapat segera dilacak.
f. Penambahan ketentuan baru yang menjamin kerahasiaan penyusunan dan
penyampaian laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang disampaikan kepada
PPATK atau penyidik (anti-tipping off). Hal ini dimaksudkan antara lain untuk mencegah
berpindahnya hasil tindak pidana dan lolosnya pelaku tindak pidana pencucian uang
sehingga mengurangi efektifitas pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
pencucian uang.
g. Ketentuan kerja sama bantuan timbal balik di bidang hukum (mutual legal assistance)
dipertegas agar menjadi dasar bagi penegak hukum Indonesia menerima dan
memberikan bantuan dalam rangka penegakan hukum pidana pencucian uang. Dengan
adanya ketentuan kerja sama bantuan timbal balik merupakan bukti bahwa Pemerintah
Indonesia memberikan komitmennya bagi komunitas internasional untuk bersama-sama
mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. Kerja sama internasional
telah dilakukan dalam forum yang tidak hanya bilateral namun regional dan multilateral
sebagai strategi untuk memberantas kekuatan ekonomi para pelaku kejahatan yang
tergabung dalam kejahatan yang terorganisir.
Namun demikian pelaksanaan kerja sama bantuan timbal balik harus tetap
memperhatikan hukum nasional masing-masing negara serta kepentingan nasional dan
terutama tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
14
Angka 2
Pasal 2
Ayat (1)
Berdasarkan ketentuan bahwa “tindak pidana yang dilakukan di luar wilayah
Negara Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan
tindak pidana menurut hukum Indonesia”, maka Undang-Undang ini dalam
menentukan Hasil tindak pidana menganut asas kriminalitas ganda (double
criminality).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 3
Ayat (1)
Terhadap Harta Kekayaan yang diduga merupakan hasil tindak pidana tidak
perlu dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya, untuk dapat
dimulainya pemeriksaan tindak pidana pencucian uang.
Angka 4
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas
Angka 5
Pasal 9
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 10A
Ayat (1)
Ketentuan ini termasuk sebagai ketentuan mengenai rahasia jabatan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “sumber keterangan” dalam ketentuan ini adalah
Penyedia Jasa Keuangan yang menyampaikan laporan Transaksi Keuangan
Mencurigakan kepada PPATK.
Kewajiban untuk merahasiakan sumber keterangan dan laporan Transaksi
Keuangan Mencurigakan di persidangan pengadilan dimaksudkan untuk
mendorong Penyedia Jasa Keuangan melaksanakan kewajiban
penyampaian laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan.
15
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 13
Ayat (1)
Huruf a
Pada dasarnya Transaksi Keuangan Mencurigakan tidak memiliki ciri-ciri
yang baku, karena hal tersebut dipengaruhi oleh variasi dan
perkembangan jasa dan instrumen keuangan yang ada. Meskipun
demikian, terdapat ciri-ciri umum dari Transaksi Keuangan Mencurigakan
yang dapat dijadikan acuan antara lain sebagai berikut:
1) tidak memiliki tujuan ekonomis dan bisnis yang jelas;
2) menggunakan uang tunai dalam jumlah yang relatif besar dan/atau
dilakukan secara berulang-ulang di luar kewajaran;
3) aktivitas transaksi nasabah di luar kebiasaan dan kewajaran.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (1a)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan ini dimaksudkan agar Penyedia Jasa Keuangan dapat sesegera
mungkin melaporkan Transaksi Keuangan Mencurigakan agar Harta
Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana dan pelaku pencucian
uang dapat segera dilacak.
Unsur Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 angka 7 huruf a, huruf b, dan huruf c.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
16
Yang dimaksud dengan “transaksi lainnya” adalah transaksi-transaksi yang
dikecualikan yang sesuai dengan karakteristiknya selalu dilakukan dalam
bentuk tunai dan dalam jumlah yang besar, misalnya setoran rutin oleh
pengelola jalan tol atau pengelola supermarket.
Selain berdasarkan jenis transaksi, Kepala PPATK menetapkan transaksi
lainnya yang dikecualikan berdasarkan besarnya jumlah transaksi, bentuk
Penyedia Jasa Keuangan tertentu, atau wilayah kerja Penyedia Jasa
Keuangan tertentu. Pemberlakuan pengecualian tersebut dapat dilakukan
baik untuk waktu yang tidak terbatas (permanen) maupun untuk waktu
tertentu (temporer).
Ayat (6)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan agar data atau informasi mengenai
transaksi yang dikecualikan tersebut dapat diteliti atau diperiksa oleh PPATK
untuk keperluan analisis.
Rincian daftar transaksi yang wajib dibuat dan disimpan pada dasarnya sama
dengan transaksi tunai yang seharusnya dilaporkan kepada PPATK. Daftar
dapat dibuat dalam bentuk elektronik sepanjang dapat dijamin bahwa data
atau informasi tersebut tidak mudah hilang atau rusak.
Ayat (6a)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada Penyedia
Jasa Keuangan tertentu yang untuk sementara waktu belum dapat memenuhi
ketentuan ini.
Pengecualian dapat diberikan baik dengan atau tanpa permintaan dari
Penyedia Jasa Keuangan.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 15
Yang dimaksud dengan “dituntut secara perdata” antara lain adalah tuntutan ganti
rugi.
Yang dimaksud dengan “dituntut secara pidana” antara lain tuntutan pencemaran
nama baik.
Angka 9
Pasal 16
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 17A
Ayat (1)
Ketentuan ini dikenal sebagai anti-tipping off.
17
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan agar pengguna jasa keuangan tidak
memindahkan Harta Kekayaannya sehingga mempersulit penegak hukum
untuk melakukan pelacakan terhadap pengguna jasa keuangan dan Harta
Kekayaan yang bersangkutan.
Ayat (2)
Ketentuan anti-tipping off berlaku pula bagi pejabat atau pegawai PPATK
serta penyelidik/penyidik untuk mencegah pengguna jasa keuangan yang
diduga sebagai pelaku kejahatan melarikan diri dan harta kekayaan yang
bersangkutan dialihkan sehingga mempersulit proses penyelidikan dan
penyidikan tindak pidana.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 25
Ayat (3)
Kerja sama dalam ayat ini dapat dilakukan dalam bentuk pertukaran
informasi, bantuan teknis, pendidikan dan/atau pelatihan.
Angka 12
Pasal 26
Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 29
Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 29A
Cukup jelas.
Pasal 29B
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas.
18
Ayat (2)
Ketentuan ini merupakan pengecualian dari ketentuan rahasia bank dan
kerahasiaan transaksi keuangan lainnya sebagaimana diatur dalam undangundang
yang mengatur mengenai rahasia bank dan kerahasiaan transaksi
keuangan lainnya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Dalam hal Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Kepala
Kepolisian Daerah, atau Jaksa Agung Republik Indonesia atau Kepala
Kejaksaan Tinggi berhalangan, penandatanganan dapat dilakukan oleh
pejabat yang ditunjuk.
Angka 16
Pasal 44
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan perundang-undangan” adalah
Undang-Undang ini, undang-undang mengenai hukum acara pidana, undangundang
mengenai hubungan luar negeri, dan undang-undang mengenai
perjanjian internasional.
Ayat (2)
Perjanjian kerja sama bantuan timbal balik antara lain mengatur tentang
prosedur komunikasi, tata cara penyampaian surat rogatori, persyaratan yang
harus dipenuhi untuk menyampaikan permintaan bantuan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Menteri dalam menerima atau menolak kerja sama bantuan timbal balik
berkoordinasi dengan penegak hukum dan instansi terkait.
Pasal 44A
Ayat (1)
Huruf a
Surat rogatori dalam ketentuan ini adalah surat dari negara lain yang
berisi permintaan pemeriksaan untuk mendapatkan keterangan
mengenai tindak pidana pencucian uang yang dilakukan di bawah
sumpah dan di hadapan penyidik, penuntut umum, atau hakim di
Indonesia dan sebaliknya. Surat rogatori ini dikenal dengan letter of
rogatory.
Huruf b
19
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 44B
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4324

No comments: