Google
 

Monday, April 21, 2008

UU RI NO 36 THN 1999



T E L E K O M U N I K A S I
(Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 1999 tanggal 8 September 1999)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa tujuan pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur
yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
b. bahwa penyelenggaraan telekomunikasi mempunyai arti strategis dalam upaya memperkukuh
persatuan dan kesatuan bangsa, memperlancar kegiatan pemerintahan, mendukung
terciptanya tujuan pemerataan pembangunan dan hasil2nya, serta meningkatkan hubungan
antarbangsa;
c. bahwa pengaruh globalisasi dan perkembangan teknologi telekomunikasi yang sangat pesat
telah mengakibatkan perubahan yang mendasar dalam penyelenggaraan dan cara pandang
terhadap telekomunikasi;
d. bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan perubahan mendasar dalam penyelenggaraan
dan cara pandang terhadap telekomunikasi tsb, perlu dilakukan penataan dan pengaturan
kembali penyelenggaraan telekomunikasi nasional;
e. bahwa sehubungan dengan hal tsb di atas, maka Undang-undang No. 3 Tahun 1989 tentang
Telekomunikasi dipandang tidak sesuai lagi, sehingga diganti;
Mengingat:
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945;
Dengan persetujuan :
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
M E M U T U S K A N :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG TELEKOMUNIKASI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan atau penerimaan dari setiap
informasi dalam bentuk tanda2, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem
kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya;
2. Alat telekomunikasi adalah setiap alat perlengkapan yang digunakan dalam
bertelekomunikasi;
3. Perangkat telekomuniaksi adalah sekelompok alat telekomunikasi yang memungkinkan
bertelekomunikasi;
4. Sarana dan prasarana telekomunikasi adalah segala sesuatu yang memungkinkan dan
mendukung berfungsinya telekomunikasi;
www.hukumonline.com
www.hukumonline.com 2
5. Pemancar radio adalah alat telekomunikasi yang menggunakan dan memancarkan gelombang
radio;
6. Jaringan telekomunikasi adalah rangkaian perangkat telekomunikasi dan kelengkapannya
yang digunakan dalam bertele komunikasi.
7. Jasa telekomunikasi adalah layanan telekomunikasi untuk memenuhi kebutuhan
bertelekomunikasi dengan menggunakan jaringan telekomunikasi;
8. Penyelenggara telekomunikasi adalah perseorangan, koperasi, Badan Usaha Milik Daerah
(BUMD), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), badan usaha swasta, instansi pemerintah, dan
instansi pertahanan keamanan negara;
9. Pelanggan adalah perseorangan, badan hukum, instansi pemerintah yang menggunakan
jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi berdasarkan kontrak;
10. Pemakai adalah perseorangan, badan hukum, instansi pemerintah yang menggunakan
jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi yang tidak berdasarkan kontrak.;
11. Pengguna adalah pelanggan dan pemakai;
12 Penyelenggaraan telekomunikasi adalah kegiatan panyediaan dan pelayanan telekomunikasi
sehingga memungklnkan terselenggaranya telekomunikasi;
13. Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi adalah keglatan penyediaan dan atau pelayanan
Jaringan telekomunikasi yang memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi;
14. Penyelenggaraan jasa telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan atau pelayanan jasa
telekomunikasi yang memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi;
15. Penyelenggaraan telekomunikasi khusus adalah penyelenggaraan telekomunikasi yang sifat,
peruntukan, dan pengoperasiannya khusus;
16. Interkoneksi adalah keterhubungan antar jaringan telekomunikasi dari penyelenggara jaringan
telekomunikasi yang berbeda.
17. Menteri adalah Menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang
telekomunikasi.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Telekomunikasi diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, adil dan merata, kepastian
hukum, keamanan, kemitraan, etika, dan kepercayaan pada diri sendiri.
Pasal 3
Telekomunikasi diselenggarakan dengan tujuan untuk mendukung persatuan dan
kesatuan bangsa, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata,
mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintahan, serta meningkatkan hubungan
antarbangsa.
BAB III
PEMBINAAN
Pasal 4
(1) Telekomunikasi dikuasai oleh Negara dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah.
(2) Pembinaan telekomunikasi diarahkan untuk meningkatkan penyelenggaraan
telekomunikasi yang meliputi penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan
pengendalian.
(3) Dalam penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian di bidang
telekomunikasi, sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan secara menyeluruh dan
terpadu dengan memperhatikan pemikiran dan pandangan yang berkembang dalam
masyarakat serta perkembangan global.
Pasal 5
(1) Dalam rangka pelaksanaan pembinaan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4,
Pemerintah melibatkan peran serta masyarakat.
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berupa penyampaian pemikiran
dan pandangan yang berkembang dalam masyarakat mengenai arah pengembangan
pertelekomunikasian dalam rangka penetapan kebija kan, pengaturan, pengendalian dan
pengawasan di bidang telekomunikasi.
(3) Pelaksanaan peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diselenggarakan
oleh lembaga mandiri yang dibentuk untuk maksud tsb.
(4) Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) keanggotaannya terdiri dari asosiasi yang
bergerak di bidang usaha telekomunikasi, asosiasi profesi telekomunikasi, asosiasi produsen
peralatan telekomunikasi, asosiasi pengguna jaringan, dan jasa telekomunikasi serta
masyarakat intelektual di bidang telekomunikasi.
(5) Ketentuan mengenai tata cara peran serta masyarakat dan pembentukan lembaga
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 6
Menteri bertindak sebagai penanggung jawab administrasi telekomunikasi Indonesia.
BAB IV
PENYELENGGARAAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 7
(1) Penyelenggaraan telekomunikasi meliputi :
a. penyelenggaraan jaringan telekomunikasi;
b. penyelenggaraan jasa telekomunikasi;
c. penyelenggaraan telekomunikasi khusus.
(2) Dalam penyelenggaraan telekomunikasi, diperhatikan hal2 sbb.:
a. melindungi kepentingan dan keamanan negara;
b. mengantisipasi perkembangan teknologi dan tuntutan global;
c. dilakukan secara profesional dan dapat dipertanggungjawabkan;
d. peran serta masyarakat.
Bagian Kedua
Penyelenggara
Pasal 8
(1) Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggaraan jasa telekomunikasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf b, dapat dilakukan oleh
badan hukum yang didirikan untuk maksud tsb berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, yaitu
a. Badan Usaha Milik Negara (BUMN);
b. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD);
c. Badan usaha swasta; atau
d. koperasi.
(2) Penyele nggaraan telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf
c, dapat dilakukan oleh :
a. perseorangan;
b. instansi pemerintah;
c. badan hukum selain penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa
telekomunikasi.
(3) Ketentuan mengenai penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 9
(1) Penyelenggara jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dapat
menyelenggarakan jasa telekomunikasi.
(2) Penyelenggara jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dalam
menyelenggarakan jasa telekomunikasi, menggunakan dan atau menyewa jaringan
telekomunikasi milik penyelenggara jaringan telekomunikasi.
(3) Penyelenggara telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), dapat
menyelenggarakan telekomunikasi untuk :
a. keperluan sendiri;
b. keperluan pertahanan keamanan negara;
c. keperluan penyiaran.
(4) Penyelenggaraan telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, terdiri
dari penyelenggaraan telekomunikasi untuk keperluan :
a. perseorangan;
b. instansi pemerintah;
c. dinas khusus;
d. badan hukum.
(5) Ketentuan mengenai persyaratan penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Larangan Praktek Monopoli
Pasal 10
(1) Dalam penyelenggaraan telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di antara
penyelenggara telekomunikasi.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

Bagian Keempat
Perizinan
Pasal 11
(1) Penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dapat
diselenggarakan setelah mendapat izin dari Menteri.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan memperhatikan :
a. tata cara yang sederhana;
b proses yang transparan, adil dan tidak diskriminatif; serta
c penyelesaian dalam waktu yang singkat.
(3) Ketentuan mengenai perizinan penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan pemerintah.
Bagian Kelima
Hak dan Kewajiban Penyelenggara dan Masyarakat
Pasal 12
(1) Dalam rangka pembangunan, pengoperasian, dan atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi,
penyelenggara tele komunikasi dapat memanfaatkan atau melintasi tanah negara dan atau
bangunan yang dimiliki atau dikuasai Pemerintah.
(2) Pemanfaatan atau pelintasan tanah negara dan atau bangunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), berlaku pula terhadap sungai, danau, atau laut, baik permukaan maupun dasar.
(3) Pembangunan, pengoperasian dan atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan dari instansi
pemerintah yang bertanggung jawab dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal 13
Penyelenggara telekomunikasi dapat memanfaatkan atau melintasi tanah dan atau
bangunan milik perseorangan untuk tujuan pembangunan, pengoperasian, atau pemeliharaan
jaringan telekomunikasi setelah terdapat persetujuan di antara para pihak.
Pasal 14
Setiap pengguna telekomunikasi mempunyai hak yang sama untuk menggunakan
jaringan telekomunikasi dan jasa telekomunikasi dengan memperhatikan peraturan perundangundangan
yang berlaku.
Pasal 15
(1) Atas kesalahan dan atau kelalaian penyelenggara telekomunikasi yang menimbulkan
kerugian, maka pihak2 yang dirugikan berhak mengajukan tuntutan ganti rugi kepada
penyelenggara telekomunikasi.
(2) Penyelenggara telekomunikasi wajib memberikan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), kecuali penyeienggara telekomunikasi dapat membuktikan bahwa kerugian tsb
bukan diakibatkan oleh kesalahan dan atau kelalaiannya.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan dan penyelesaian ganti rugi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
www.hukumonline.com
www.hukumonline.com 6
Pasal 16
(1) Setiap penyelenggara jaringan tele komunikasi dan atau penyelenggara jasa telekornunikasi
wajib memberikan kontribusi dalam pelayanan universal.
(2) Kontribusi pelayanan universal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk penyediaan
sarana dan prasarana tele komunikasi dan atau kompensasi lain.
(3) Ketentuan kontribusi pelayanan universal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 17
Penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi
wajib menyediakan pelayanan telekomunikasi berdasarkan prinsip:
a. perlakuan yang sama dan pelayanan yang sebaik-baiknya bagi semua pengguna;
b. peningkatan efisiensi dalam penyelenggaraan telekomunikasi; dan
c. pemenuhan standar pelayanan serta standar penyediaan sarana dan prasarana.
Pasal 18
(1) Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib mencatat/merekam secara rinci pemakaian jasa
telekomunikasi yang digunakan oleh pengguna telekomunikasi.
(2) Apabila pengguna memerlukan catatan/rekaman pemakaian jasa telekomunikasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), penyelenggara telekomunikasi wajib memberikannya.
(3) Ketentuan mengenai pencatatan/perekaman pemakaian jasa telekomunikasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
Penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menjamin kebebasan penggunanya
memilih jaringan telekomunikasi lain untuk pemenuhan kebutuhan telekomunikasi.
Pasal 20
Setiap penyelenggara telekomunikasi wajib memberikan prioritas untuk pengiriman,
penyaluran, dan penyampaian informasi penting yang menyangkut :
a. keamanan negara;
b. keselamatan jiwa manusia dan harta benda;
c. bencana alam;
d. marabahaya, dan atau
e. wabah penyakit.
Pasal 21
Penyelenggara telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan
telekomunikasi yang bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan, keamanan, atau
ketertiban umum.
Pasal 22
Setiap orang dilarang melakukan perbuatan tanpa hak, tidak sah, atau memanipulasi:
a. akses ke jaringan telekomunikasi; dan atau
b. akses ke jasa telekomunikasi; dan atau
c. akses ke jaringan telekomunikasi khusus.
Bagian Keenam
P e n o m o r a n
Pasal 23
(1) Dalam penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan jasa telekomunikasi ditetapkan dan
digunakan sistem penomoran.
(2) Sistem penomoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 24
Permintaan penomoran oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau
penyelenggara jasa telekomunikasi diberikan berdasarkan sistem penomoran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23.
Bagian Ketujuh
Interkoneksi dan Biaya Hak Penyelenggaraan
Pasal 25
(1) Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi berhak untuk mendapatkan interkoneksi dari
penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya.
(2) Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menyediakan interkoneksi apabila
diminta oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya.
(3) Pelaksanaan hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan
berdasarkan prinsip :
a. pemanfaatan sumber daya secara efisien;
b. keserasian sistem dan perangkat telekomunikasi;
c. peningkatan mutu pelayanan; dan
d. persaingan sehat yang tidak saling merugikan.
(4) Ketentuan mengenai interkoneksi jaringan telekomunikasi, hak dan kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 26
(1) Setiap penyelengara jaringan telekomunkasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi
wajib membayar biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi yang diambil dari prosentase
pendapatan.
(2) Ketentuan mengenai biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
www.hukumonline.com
www.hukumonline.com 8
Bagian Kedelapan
T a r i f
Pasal 27
Susunan tarif penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau tarif penyelenggaraan
jasa telekomunikasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 28
Besaran tarif penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi
ditetapkan oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi dengan
berdasarkan formula yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Bagian Kesembilan
Telekomunikasi Khusus
Pasal 29
(1) Penyelenggaraan telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf
a dan huruf b, dilarang disambungkan ke jaringan penyelenggara telekomunikasi lainnya.
(2) Penyelenggaraan telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf
c, dapat disambungkan ke jaringan penyelenggara telekomunikasi lainnya sepanjang
digunakan untuk keperluan penyiaran.
Pasal 30
(1) Dalam hal penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa
telekomunikasi belum dapat menyediakan akses di daerah tertentu, maka penyelenggara
telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf a, dapat
menyelenggarakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf b setelah mendapat izin Menteri.
(2) Dalam hal penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa
telekomunikasi sudah dapat menyediakan akses di daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), maka penyelenggara telekomunikasi khusus dimaksud tetap dapat melakukan
penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi.
(3) Syarat-syarat untuk mendapatkan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 31
(1) Dalam keadaan penyelenggara telekomunikasi khusus untuk keperluan pertahanan keamanan
negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf b belum atau tidak mampu
mendukung kegiatannya, penyelenggara telekomunikasi khusus dimaksud dapat
menggunakan atau memanfaatkan jaringan telekomunikasi yang dimiliki dan atau digunakan
oleh penyelenggara telekomunikasi lainnya.
(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian Kesepuluh
Perangkat Telekomunikasi
Spektrum Frekuensi Radio, dan Orbit Satelit
Pasal 32
(1) Perangkat telekomunikasi yang diperdagangkan, dibuat, dirakit, dimasukkan dan atau
digunakan di wilayah Negara Republik Indonesia wajib memperhatikan persyaratan teknis
dan berdasarkan izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Ketentuan mengenai persyaratan teknis perangkat telekomunikasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 33
(1) Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit wajib mendapatkan izin Pemerintah.
(2) Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit harus sesuai dengan peruntukannya
dan tidak saling mengganggu.
(3) Pemerintah melakukan pengawasan dan pengendalian penggunaan spektrum frekuensi radio
dan orbit satelit.
(4) Ketentuan penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit yang digunakan dalam
penyelenggaraan telekomunikasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 34
(1) Pengguna spektrum frekuensi radio wajib membayar biaya penggunaan frekuensi, yang
besarannya didasarkan atas penggunaan jenis dan lebar pita frekuensi.
(2) Pengguna orbit satelit wajib membayar biaya hak penggunaan orbit satelit.
(3) Ketentuan mengenai biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 35
(1) Perangkat telekomunikasi yang digunakan oleh kapal berbendera asing dari dan ke wilayah
perairan Indonesia dan atau yang dioperasikan di wilayah perairan Indonesia, tidak
diwajibkan memenuhi persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32.
(2) Spektrum frekuensi radio dilarang digunakan oleh kapal berbendera asing yang berada di
wilayah perairan Indonesia di luar peruntukannya, kecuali :
a. untuk kepentingan keamanan negara, keselamatan jiwa manusia dan harta benda, bencana
alam, keadaan marabahaya, wabah, navigasi, dan keamanan lalu lintas pelayaran; atau
b. disambungkan ke jaringan telekomunikasi yang dioperasikan oleh penyelenggara
telekomunikasi; atau
c. merupakan bagian dari sistem komunikasi satelit yang penggunaannya sesuai dengan
ketentuan yang berlaku dalam penyelenggaraan telekomunikasi dinas bergerak pelayaran.
(3) Ketentuan mengenai penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 36
(1) Perangkat telekomunikasi yang digunakan oleh pesawat udara sipil asing dari dan ke wilayah
udara Indonesia tidak diwajibkan memenuhi persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 32.
(2) Spektrum frekuensi radio dilarang digunakan oleh pesawat udara sipil asing dari clan ke
wilayah udara Indonesia di luar peruntukannya, kecuali :
a. untuk kepentingan keamanan negara, keselamatan jiwa manusia dan harta benda, bencana
alam, keadaan marabahaya, wabah, navigasi, dan keselamatan lalu lintas penerbangan,
atau
b. disambungkan ke jaringan telekomunikasi yang dioperasikan oleh penyelenggara
telekomunikasi, atau
c. merupakan bagian dari sistem komunikasi satelit yang penggunaannya sesuai dengan
ketentuan yang berlaku dalam penyelenggaraan telekomunikasi dinas bergerak
penerbangan.
(3) Ketentuan mengenai penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diatur dengan Peraturan Pemerinah.
Pasal 37
Pemberian izin penggunaan perangkat telekomunikasi yang menggunakan spektrum
frekuensi radio untuk perwakilan diplomatik di Indonesia dilakukan dengan memperhatikan asas
timbal balik.
Bagian Kesebelas
Pengamanan Telekomunikasi
Pasal 38
Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan gangguan fisik dan
elektromagnetik terhadap penyelenggaraan telekomunikasi.
Pasal 39
(1) Penyelenggara telekomunikasi wajib melakukan pengamanan dan perlindungan terhadap
instalasi dalam jaringan telekomunikasi yang digunakan untuk penyelenggaraan
telekomunikasi.
(2) Ketentuan pengamanan dan perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 40
Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan
melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun.
Pasal 41
Dalam rangka pembuktian kebenaran pemakaian fasifitas telekomunikasi atas permintaan
pengguna jasa telekomunikasi, penyelenggara jasa telekomunikasi wajib melakukan perekaman
pemakaian fasilitas telekomunikasi yang digunakan oleh pengguna jasa telekomunikasi dan dapat
melakukan perekaman informasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 42
(1) Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib merahasiakan informasi yang dikirim dan atau
diterima oleh pelanggan jasa telekomunikasi melalui jaringan telekomunikasi dan atau jasa
telekomunikasi yang diselenggarakannya.
www.hukumonline.com
www.hukumonline.com 11
(2) Untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam
informasi yang dikirim dan atau diterima oleh penyele nggara jasa telekomunikasi serta dapat
memberikan informasi yang diperlukan atas :
a. permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk
tindak pidana tertentu.
b. permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan Undang-undang yang
berlaku.
(3) Ketentuan mengenai tata cara permintaan dan pemberian rekaman informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 43
Pemberian rekaman informasi oleh penyelenggara jasa telekomunikasi kepada pengguna
jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan untuk kepentingan proses
peradilan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), tidak merupakan pelanggaran
Pasal 40.
BAB V
PENYIDIKAN
Pasal 44
(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil
tertentu di lingkungan Departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang
telekomunikasi, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang
telekomunikasi.
(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang :
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak
pidana di bidang telekomunikasi.
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang dan atau badan hukum yang diduga melakukan
tindak pidana di bidang telekomunikasi.
c. menghentikan penggunaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang menyimpang
dari ketentuan yang berlaku.
d. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka
e. melakukan pemeriksaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang diduga digunakan
atau diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
f. menggeledah tempat yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana di bidang
telekomunikasi.
g. menyegel dan atau menyita alat dan atau perangkat telekomunikasi yang digunakan atau
yang diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
h. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di
bidang telekomunikasi, dan
i. mengadakan penghentian penyidikan.
(3) Kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan Undang-undang Hukum Acara Pidana.
BAB VI
SANKSI ADMINISTRASI
Pasal 45
Barang siapa melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (1), Pasal 18 ayat (2), Pasal 19, Pasal 21,
Pasal 25 ayat (2), Pasal 26 ayat (1), Pasal 29 ayat (1), Pasal 29 ayat (2), Pasal 33 ayat (1), Pasal
33 ayat (2), Pasal 34 ayat (1), atau Pasal 34 ayat (2) dikenai sanksi administrasi.
Pasal 46
(1) Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 berupa pencabutan izin.
(2) Pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah diberi peringatan
tertulis.
BAB VII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 47
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1),
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp
600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 48
Penyelenggara jaringan telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau
denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 49
Penyelenggara telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak
Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 50
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp
600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 51
Penyelenggara telekomunikasi khusus yang melanggar ketentuan sebagaanana dimaksud
dalam Pasal 29 ayat (1) atau Pasal 29 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
Pasal 52
Barang siapa memperdagangkan. membuat, merakit, memasukkan atau menggunakan
perangkat telekomunikasi di wilayah Negara Republik Indonesia yang tidak sesuai dengan
persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) Dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).
Pasal 53
(1) Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana danaksud dalam Pasal 33 ayat (1) atau
Pasal 33 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau
denda paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya
seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 54
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2)
atau Pasal 36 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda
paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 55
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp
600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 56
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 57
Penyelenggara jasa telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 42 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau
dende paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 58
Alat dan perangkat telekomunikasi yang digunakan dalam tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 48, Pasal 52 atau Pasal 56 dirampas untuk negara dan atau
dimusnahkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 59
Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51,
Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56, dan Pasal 57 adalah kejahatan.
www.hukumonline.com
www.hukumonline.com 14
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 60
Pada saat berlakunya Undang-undang ini, penyelenggara telekomunikasi sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi, tetap dapat
menjalankan kegiatannya dengan ketentuan dalam waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak
Undang-undang ini dinyatakan berlaku wajib menyesuaikan dengan Undang-undang ini.
Pasal 61
(1) Dengan berlakunya Undang-undang ini. Hak-hak tertentu yang telah diberikan oleh
Pemerintah kepada Badan Penyelenggara untuk jangka waktu tertentu berdasarkan Undangundang
Nomor 3 Tahun 1989 masih berlaku.
(2) Jangka waktu hak tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dipersingkat sesuai
dengan kesepakatan antara Pemerintah dan Badan Penyelenggara.
Pasal 62
Pada saat Undang-undang ini berlaku semua peraturan pelaksanaan Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi (Lembaran Negara Tahun 1989 Nomor 11,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3391) masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan
atau belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan Undang-undang ini.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 63
Dengan berlakunya Undang-undang ini, Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang
Telekomunikasi dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 64
Undang-undang ini mulai berlaku 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 8 September 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 8 September 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd.
M U L A D I
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 154
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 36 TAHUN 1999
TENTANG
T E L E K O M U N I K A S I
U M U M
Sejak diundangkannya Undang-undang No. 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi,
pembangunan dan penyelenggaraan telekomunikasi telah menunjukkan peningkatan peran
panting dan strategis dalam menunjang dan mendorong kegiatan perekonomian, memantapkan
pertahanan dan keamanan, mencerdaskan kehidupan bangsa, memperlancar kegiatan
pemerintahan, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa dalam kerangka wawasan nusantara,
dan memantapkan ketahanan nasional serta meningkatkan hubungan antarbangsa.
Perubahan lingkungan global dan perkembangan teknologi telekomunikasi yang
berlangsung sangat cepat telah mendorong terjadinya perubahan mendasar, melahirkan
lingkungan telekomunikasi yang baru, dan perubahan cara pandang dalam penyelenggaraan
telekomunikasi, termasuk hasil konvergensi dengan teknologi informasi dan penyiaran, sehingga
dipandang perlu mengadakan penataan kembali penyelenggaraan telekomunikasi nasional.
Penyesuaian dalam penyelenggaraan telekomunikasi di tingkat nasional sudah merupakan
kebutuhan nyata, mengingat meningkatnya kemampuan sektor swasta dalam penyelenggaraan
telekompnikasi, penguasaan teknologi telekomunikasi, dan keunggulan kompetitif dalam rangka
memenuhi kebutuhan masyarakat.
Perkembangan teknologi telekomunikasi di tingkat internasional yang diikuti dengan
peningkatan penggunaannya sebagai salah satu komoditas perdagangan, yang memiliki nilai
komersial tinggi, telah mendorong terjadinya berbagai kesepakatan multilateral.
Sebagai negara yang aktif dalam membina hubungan antarnegara atas dasar kepentingan
nasional, keikutsertaan Indonesia dalam berbagai kesepakatan multilateral menimbulkan berbagai
konsekuensi yang harus dihadapi den diikuti. Sejak penandatanganan General Agreement on
Trade and Services (GATS) di Marrakesh, Maroko, pada tgl. 15 April 1994, yang telah
diratifikasi dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1994, penyelenggaraan telekomunikasi nasional
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sistem perdagangan global.
Sesuai dengan prinsip perdagangan global, yang menitikberatkan pada asas perdagangan
bebas dan tidak diskriminatif, Indonesia harus menyiapkan diri untuk menyesuaikan
penyelenggaraan telekomunikasi.
Dengan memperhatikan hal tsb di atas, maka peran Pemerintah dititikberatkan pada
pembinaan yang meliputi penentuan kebijakan, pengaturan, pengawasan, dan pengendalian
dengan mengikutsertakan peran masyarakat.
Peningkatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan telekomunikasi tidak mengurangi
prinsip dasar yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, yaitu bahwa
bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, ha12 yang menyangkut
pemanfaatan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit yang merupakan sumber daya alam yang
terbatas dikuasai oleh negara.
Dengan tetap berpijak pada arah dan kebijakan pembangunan nasional serta dengan
memperhatikan perkembangan yang berlangsung baik secara nasional maupun internasional,
terutama di bidang teknologi telekomunikasi, norma hukum bagi pembinaan dan
penyelenggaraan telekomunikasi yang diatur dalam Undang-undang No. 3 Tahun 1989 tentang
Telekomunikasi perlu diganti.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Penyelenggaraan telekomunikasi memperhatikan dengan sungguh2 asas pembangunan
nasional dengan mengutamakan asas manfaat, asas adil dan merata, asas kepastian hukum dan
asas kepercayaan pada diri sendiri serta memperhatikan pula asas keamanan kemitraan, dan
etika.
Asas manfaat berarti bahwa pembangunan telekomunikasi khususnya penyelenggaraan
telekomunikasi akan lebih berdaya guna dan berhasil guna baik sebagai infrastruktur
pembangunan, sarana penyelenggaraan pemerintahan, sarana pendidikan, sarana perhubungan
maupun sebagai komoditas ekonomi yang dapat lebih meningkatkan kesejahteraan masyarakat
lahir dan batin.
Asas adil dan merata adalah bahwa penyelenggaraan telekomunikasi memberikan
kesempatan dan perlakuan yang sama kepada semua pihak yang memenuhi syarat dan hasil2nya
dinikmati oleh masyarakat secara adil dan merata.
Asas kepastian hukum berarti bahwa pembangunan telekomunikasi khususnya
penyelenggaraan telekomunikasi harus didasarkan kepada peraturan perundang-undangan yang
menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan hukum baik bagi para investor,
penyelenggara telekomunikasi, maupun kepada pengguna telekomunikasi.
Asas kepercayaan pada diri sendiri, dilaksanakan dengan memanfaatkan secara maksimal
potensi sumber daya nasional secara efisien serta penguasaan teknologi telekomunikasi, sehingga
dapat meningkatkan kemandirian dan mengurangi ketergantungan sebagai suatu bangsa dalam
menghadapi persaingan global.
Asas kemitraan mengandung makna bahwa penyelenggaraan telekomunikasi harus dapat
mengembangkan iklim yang harmonis, timbal balik, dan sinergi dalam penyelenggaraan
telekomunikasi.
Asas keamanan dimaksudkan agar penyelenggaran telekomunikasi selalu memperhatikan
faktor keamanan dalam perencanaan, pembangunan, dan pengoperasiannya.
Asas etika dimaksudkan agar dalam penyelenggaraan telekomunikasi senantiasa dilandasi
oleh semangat profesionalisme, kejujuran, kesusilaan, dan keterbukaan.
Pasal 3
Tujuan penyelenggaraan telekomunikasi dalam ketentuan ini dapat dicapai, antara lain,
melalui reformasi telekomunikasi untuk meningkatkan kinerja penyelenggaraan telekomunikasi
dalam rangka menghadapi globalisasi, mempersiapkan sektor telekomunikasi memasuki
persaingan usaha yang sehat dan profesional dengan regulasi yang transparan, serta membuka
lebih banyak kesempatan berusaha bagi pengusaha kecil dan menengah.
Pasal 4
Ayat (1)
Mengingat telekomunikasi merupakan salah satu cabang produksi yang penting dan
strategis dalam kehidupan nasional, maka penguasaannya dilakukan oleh negara, yang dalam
penyelenggaraannya ditujukan untuk sebesar-besarnya bagi kepentingan dan kemakmuran rakyat.
Ayat (2)
Fungsi penetapan kebijakan, antara lain, perumusan mengenai perencanaan dasar
strategis dan perencanaan dasar teknis telekomunikasi nasional.
Fungsi pengaturan mencakup kegiatan yang bersifat umum dan atau teknis operasional
yang antara lain, tercermin dalam pengaturan perizinan dan persyaratan dalam penyelenggaraan
telekomunikasi.
Fungsi pengendalian dilakukan berupa pengarahan dan bimbingan terhadap
penyelenggaraan telekomunikasi.
Fungsi pengawasan adalah pengawasan terhadap penyelenggaraan telekomunikasi,
termasuk pengawasan terhadap penguasaan, pengusahaan, pemasukan, perakitan, penggunaan
frekuensi dan orbit satelit, serta alat, perangkat, sarana dan prasarana telekomunikasi.
Fungsi penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian dilaksanakan
oleh Menteri. Sesuai dengan perkembangan keadaan, fungsi pengaturan, pengawasan dan
pengendalian penyelenggaraan telekomunikasi dapat dilimpahkan kepada suatu badan regulasi.
Dalam rangka efektivitas pembinaan, pemerintah melakukan koordinasi dengan instansi
terkait, penyelenggara telekomunikasi dan mengikutsertakan peran masyarakat.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1) s/d Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 6
Sesuai dengan ketentuan Konvensi Telekomunikasi Internasional, yang dimaksud dengan
Administrasi Telekomunikasi adalah Negara yang diwakili oleh pemerintah negara ybs. Dalam
hal ini. Administrasi Telekomunikasi melaksanakan hak dan kewajiban Konvensi
Telekomunikasi Internasional dan peraturan yang menyertainya.
Administrasi Telekomunikasi Indonesia juga melaksanakan hak dan kewajiban peraturan
internasional lainnya seperti peraturan yang ditetapkan Intelsat (International Telecommunication
Satellite Organization) dan Inmarsat (International Maritime Satellite Organization) serta
perjanjian internasional di bidang telekomunikasi lainnya yang diratifikasi Indonesia.
Pasal 7
Ayat (1)
Huruf a dan b
Cukup jelas.
Huruf c
Penyelenggaraan telekomunikasi khusus antara lain untuk keperluan meteorologi dan
geofisika, televisi siaran, radio siaran, navigasi, penerbangan, pencarian dan pertolongan
kecelakaan, amatir radio, komunikasi radio antar penduduk dan penyelenggaraan telekomunikasi
khusus instansi pemerintah tertentu/swasta.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1) s/d (3)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penyelenggara jasa telekomunikasi yang memerlukan jaringan telekomunikasi dapat
menggunakan jaringan yang dimilikinya dan atau menyewa dari penyelenggara jaringan
telekomunikasi lain.
Jaringan telekomunikasi yang disewa pada dasarnya digunakan untuk keperluan sendiri,
namun apabila disewakan kembali kepada pihak lain, maka yang menyewakan kembali tsb harus
memperoleh izin sebagai penyelenggara jaringan telekomunikasi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Yang dimaksud dengan penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan
perseorangan adalah penyelenggaraan tele komunikasi guna memenuhi kebutuhan perseorangan,
misalnya amatir radio dan komunikasi radio antar penduduk.
Huruf b
Yang dimaksud dengan penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan instansi
pemerintah adalah penyelenggaraan telekomunikasi untuk mendukung pelaksanaan tugas2 umum
instansi tsb misalnya, komunikasi departemen atau komunikasi pemerintah daerah.
Huruf c
Yang dimaksud dengan penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk dinas khusus
adalah penyelenggaraan telekomunikasi untuk mendukung kegiatan dinas ybs. antara lain,
kegiatan navigasi, penerbangan, atau meteorologi.
Huruf d
Yang dimaksud dengan penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk badan hukum
adalah penyelenggaraan telekomunikasi yang dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara
(BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), badan usaha swasta, atau koperasi, misalnya
telekomunikasi perbankan, telekomunikasi pertambangan, atau tele komunikasi perkeretaapian.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Pasal ini dimaksudkan agar terjadi kompetisi yang sehat antar penyelenggara
telekomunikasi dalam melakukan kegiatannya.
Peraturan perundang-undangan yang berlaku dimaksud adalah Undang-undang no. 5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat serta
peraturan pelaksanaannya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Perizinan penyelenggaraan telekomunikasi dimaksudkan sebagai upaya Pemerintah
dalam rangka pembinaan untuk mendorong pertumbuhan penyelenggaraan telekomunikasi yang
sehat.
Pemerintah berkewajiban untuk mempublikasikan secara berkala atas daerah/wilayah
yang terbuka untuk penyelenggaraan jaringan dan atau jasa telekomunikasi.
Penyelenggaraan telekomunikasi wajib memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam
perizinan.
Penyelenggaraan telekomunikasi guna keperluan eksperimen diberi izin khusus untuk
jangka waktu tertentu.
Ayat (2) dan (3)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan memanfaatkan atau melintasi tanah negara dan atau bangunan
yang dimiliki dikuasai oleh Pemerintah adalah kemudahan yang diberikan kepada penyelenggara
telekomunikasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan instansi pemerintah adalah instansi yang secara langsung
menguasai memiliki, dan atau menggunakan tanah dan atau bangunan.
Pasal 13
Yang dimaksud dengan perseorangan adalah orang seorang dan atau badan hukum yang
secara langsung menguasai, memiliki dan atau menggunakan tanah dan atau bangunan yang
dimanfaatkan atau dilintasi.
Dalam rangka memberi perlindungan hukum terhadap hak milik perseorangan, maka
pemanfaatannya harus mendapat persetujuan para pihak.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Ganti rugi oleh penyelenggara telekomunikasi diberikan kepada pengguna atau
masyarakat luas yang dirugikan karena kelalaian atau kesalahan penyelenggara telekomunikasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penyelesaian ganti rugi dilaksanakan dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau
konsiliasi. Cara2 tsb dimaksudkan sebagai upaya bagi para pihak untuk mendapatkan
penyelesaian dengan cara cepat. Apabila penyelesaian ganti rugi melalui cara tsb di atas tidak
berhasil, maka dapat diselesaikan melalui pengadilan.
Pasal 16
Ayat (1)
Kewajiban pelayanan universal (universal service obligation) merupakan kewajiban
penyediaan jaringan telekornunikasi oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi agar kebutuhan
masyarakat terutama di daerah terpencil dan atau belum berkembang untuk mendapatkan akses
telepon dapat dipenuhi.
Dalam penetapan kewajiban pelayanan universal, pemerintah memperhatikan prinsip
ketersediaan pelayanan jasa telekomunikasi yang menjangkau daerah berpenduduk dengan mutu
yang baik dan tarif yang layak.
Kewajiban pelayanan universal terutama untuk wilayah yang secara geografis terpencil
dan yang secara ekonomi belum berkembang serta membutuhkan biaya pembangunan tinggi
termasuk di daerah perintisan, pedalaman, pinggiran, terpencil dan atau daerah yang secara
ekonomi kurang menguntungkan.
Kewajiban membangun fasilitas telekomunikasi untuk pelayanan universal dibebankan
kepada penyelenggara jaringan tele komunikasi tetap yang telah mendapatkan izin dari pemerintah
berupa jasa Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ) dan atau jasa sambungan lokal.
Penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya di luar kedua jenis jasa di atas diwajibkan
memberikan kontribusi.
Ayat (2)
Kompensasi lain sebagaimana dimaksud dalam kewajiban pelayanan universal adalah
kontribusi biaya untuk pembangunan yang dibebankan melalui biaya interkoneksi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Pencatatan pemakaian jasa telekomunikasi merupakan kewajiban penyelenggara yang
pelaksanaannya dilakukan secara bertahap dan berlaku hanya untuk pelayanan jasa telepon
Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ) dan Sambungan Langsung Internasional (SLI) sepanjang
diminta oleh pengguna jasa telekomunikasi.
Perekaman pemakaian jasa telekomunikasi adalah rekaman rincian data tagihan (billing),
yang digunakan untuk membuktikan pemakaian jasa telekomunikasi.
Ayat (2) dan (3)
Cukup jelas.
Pasal 19
Bila jaringan telekomunikasi terhubung dengan beberapa jaringan lain yang
menyelenggarakan jasa yang sama, maka pengguna jaringan tsb harus dijamin kebebasannya
untuk memilih salah satu dari jaringan yang terhubung tadi melalui penomoran yang ditentukan.
Pada dasarnya pengguna berhak memilih penyelenggara jaringan dan atau jasa
telekomunikasi untuk menyalurkan hubungan telekomunikasinya. Dalam pelaksanaannya
penyelenggara jaringan dan atau jasa telekomunikasi dapat mengubah rute hubungan dari
pengguna ke jaringan penyelenggara lain tanpa sepengetahuan pengguna.
Apabila terjadi, hal di atas bertentangan dengan prinsip persaingan sehat yang dapat
merugikan baik bagi penyelenggara maupun bagi pengguna.
Pasal 20
Pengiriman informasi adalah tahap awal dari proses bertele komunikasi, yang dilanjutkan
dengan kegiatan penyaluran sebagai proses antara dan diakhiri dengan kegiatan penyampaian
informasi untuk penerimaan pihak yang dituju. Prioritas pengiriman, penyaluran dan
penyampaian informasi yang akan ditetapkan oleh pemerintah antara lain berita tentang musibah.
Pasal 21
Penghentian kegiatan usaha penyelenggaraan telekomunikasi dapat dilakukan oleh
pemerintah setelah diperoleh informasi yang patut diduga dengan kuat dan diyakini bahwa
penyelenggaraan tele komunikasi tsb melanggar kepentingan umum, kesusilaan, keamanan, atau
ketertiban umum.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan agar kebutuhan atas penomoran dari penyelenggara jaringan
dan penyelenggara jasa telekomunikasi serta penggunanya dapat dipenuhi secara adil dan selaras
dengan ketentuan internasional.
Nomor adalah rangkaian tanda dalam bentuk angka terdiri atas kode akses dan nomor
pelanggan yang dipergunakan untuk mengidentifikasi suatu alamat pada jaringan atau pelayanan
telekomuikasi.
Ayat (2)
Penomoran adalah sumber daya terbatas dan oleh karena itu sistem penomoran diatur
oleh Menteri secara adil. Penomoran pada jaringan telekomunikasi terkait dengan teknologi dan
ketentuan internasional.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1) s/d (4)
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi adalah kewajiban yang dikenakan kepada
penyelenggara jaringan dan atau jasa telekomunikasi sebagai kompensasi atas perizinan yang
diperolehnya dalam penyelenggaraan jaringan dan atau jasa telekomunikasi, yang besarnya
ditetapkan berdasarkan persentase dari pendapatan dan merupakan Pendapatan Negara Bukan
Pajak (PNBP) yang disetor ke Kas Negara.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 27
Susunan tarif jaringan dan atau jasa telekomunikasi meliputis struktur dan jenis tarif
ditetapkan oleh pemerintah. Berdasarkan struktur dan jenis tsb, penyelenggara jaringan
telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi dapat menetapkan besaran tarif.
Struktur tarif terdiri atas biaya pasang baru (aktivasi, biaya berlangganan bulanan, biaya
penggunaan, dan biaya jasa tambahan (feature).
Jenis tarif terdiri atas tarif pulsa lokal, tarif pulsa Sambungan Langsung Jarak Jauh
(SLJJ), tarif Sambungan Langsung Internasional (SLI) dan air time untuk jasa sambungan telepon
bergerak.
Pasal 28
Formula sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pola perhitungan untuk
menetapkan tarif.
Formula tarif terdiri atas formula awal dan formula tarif perubahan.
Dalam menetapkan formula tarif awal, yang harus diperhatikan adalah komponen biaya,
sedangkan untuk menetapkan formula besaran tarif perubahan diperhatikan juga antara lain faktor
inflasi, kemampuan masyarakat, dan kesinambungan pembangunan telekomunikasi.
Pasal 29
Ayat (1)
Larangan bagi penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk disambungkan ke jaringan
penyelenggara telekomunikasi lainnya dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum bagi
ruang lingkup penyelenggaraan telekomunikasi khusus yang memang hanya untuk keperluan
sendiri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mengatasi masalah kebutuhan jasa telekomunikasi di
suatu daerah yang karena keadaan tertentu belum dapat dijangkau oleh jasa telekomunikasi. Oleh
karena itu Undang-undang ini memandang perlu untuk memberikan kemungkinan kepada
penyelenggara telekomunikasi khusus yang sebenarnya hanya bergerak untuk kepentingan
sendiri, dapat memberikan pelayanan jasa telekomunikasi kepada masyarakat yang bertempat
tinggal di daerah tersebut.
Ayat (2)
Penyelenggara telekomunikasi khusus yang menyelenggarakan jaringan dan atau jasa
telekomunikasi dapat melanjutkan penyelenggaraan jaringan dan atau jasa telekomunikasi dengan
pertimbangan investasi yang telah dilakukannya dan kesinambungan pelayanan kepada pengguna.
Dalam hal ini penyelenggara telekomunikasi khusus yang bersangkutan wajib memenuhi
seluruh ketentuan yang berlaku bagi penyelenggaraan jaringan dan atau jasa telekomunikasi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Untuk keperluan pertahanan keamanan negara, fasilitas telekomunikasi yang dimiliki
oleh penyelenggara telekomunikasi lainnya dapat dimanfaatkan.
Penggunaan atau pemanfaatan jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam
ayat ini dilakukan sepanjang jaringan telekomunikasi untuk keperluan pertahanan keamanan
negara, yang dalam hal ini oleh Tentara Nasional Indonesia, tidak dapat berfungsi atau tidak
tersedia.
Dalam hal negara dalam keadaan bahaya ketentuan ayat ini tidak berlaku.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Persyaratan teknis alat perangkat telekomunikasi merupakan syarat yang diwajibkan
terhadap alat/perangkat telekomunikasi agar pada waktu dioperasikan tidak saling mengganggu
alat/perangkat telekomunikasi lain dan atau jaringan telekomunikasi atau alat perangkat selain
perangkat telekomunikasi.
Persyaratan teknis dimaksud lebih ditujukan terhadap fungsi alat/perangkat
telekomunikasi yang berupa parameter elektris/elektronis serta dengan memperhatikan pula aspek
di luar parameter elektris/elektronis sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan aspek lainnya,
misalnya lingkungan, keselamatan, dan kesehatan.
Untuk menjamin pemenuhan persyaratan teknis alat/perangkat telekomunikasi, setiap alat
atau perangkat telekomunikasi dimaksud harus diuji oleh balai uji yang diakui oleh pemerintah
atau institusi yang berwenang.
Ketentuan persyaratan teknis memperhatikan standar teknis yang berlaku secara
internasional, mempertimbangkan kepentingan masyarakat, dan harus berdasarkan pada teknologi
yang terbuka.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat (1)
Pemberian izin penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit didasarkan kepada
ketersediaan spektrum frekuensi radio yang telah dialokasikan untuk keperluan penyelenggaraan
telekomunikasi termasuk siaran sesuai peruntukannya.
Tabel alokasi frekuensi radio disebarluaskan dan dapat diketahui oleh masyarakat secara
transparan.
Apabila ketersediaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit tidak memenuhi
permintaan atau kebutuhan penyelenggaraan telekomunikasi maka perolehan izinnya antara lain
dimungkinkan melalui mekanisme pelelangan.
Ayat (2)
Frekuensi radio adalah jumlah getaran telekomunikasi untuk 1 (satu) periode, sedangkan
spektrum frekuensi radio adalah kumpulan frekuensi radio.
Penggunaan frekuensi radio didasarkan pada ruang, jumlah getaran, dan lebar pita, yang
hanya dapat digunakan oleh 1 (satu) pihak. Penggunaan secara bersamaan pada ruang, jumlah
getaran dan lebar yang sama atau berhimpitan akan saling mengganggu.
Frekuensi dalam telekomunikasi digunakan untuk membawa atau menyalurkan informasi.
Dengan demikian agar informasi dapat dibawa atau disalurkan dengan baik tanpa gangguan maka
penggunaan frekuensinya harus diatur. Pengaturan frekuensi antara lain mengenai pengalokasian
pita frekuensi dan peruntukannya.
Orbit satelit adalah suatu lintasan ini angkasa yang dilalui oleh suatu pusat masa satelit.
Orbit satelit terdiri atas orbit satelit geostasioner, orbit satelit rendah dan orbit satelit menengah.
Orbit satelit geostasioner adalah suatu lintasan yang dilalui oleh suatu pusat masa satelit
yang disebabkan oleh gaya gravitasi bumi yang mempunyai kedudukan tetap terhadap bumi.
Orbit satelit geostasioner berada di atas khatulistiwa dengan ketinggian 36.000 km.
Orbit satelit rendah dan menengah adalah suatu lintasan yang dilalui oleh suatu pusat
masa satelit yang kedudukannya tidak tetap terhadap bumi. Ketinggian orbit satelit rendah sekitar
1 .500 km dan orbit satelit menengah sekitar 11.000 km.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat (1)
Biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio merupakan kompensasi atas penggunaan
frekuensi sesuai dengan izin yang diterima. Di samping itu, biaya penggunaan frekuensi
dimaksudkan juga sebagai sarana pengawasan dan pengendalian agar frekuensi radio sebagai
sumber daya alam terbatas dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin.
Besarnya biaya penggunaan frekuensi ditentukan berdasarkan jenis dan lebar pita
frekuensi. Jenis frekuensi akan berpengaruh pada mutu penyelenggaraan, sedangkan lebar pita
frekuensi akan berpengaruh pada kapasitas/jumlah informasi yang dapat dibawa/dikirim.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan wilayah perairan Indonesia adalah wilayah laut teritorial
termasuk perairan dalam. Dengan demikian, pengertian ini menjangkau konsepsi negara
kepulauan sebagaimana dia kui dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut
Internasional yang selanjutnya telah diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985.
Karena kapal berbendera asing tersebut telah dilengkapi dengan perangkat
telekomunikasi yang pemasangan dan pengoperasiannya mengikuti ketentuan yang berlaku di
negaranya, maka ketentuan tentang persyaratan teknis yang ditetapkan Menteri tidak dapat
diterapkan kepadanya.
Penggunaan perangkat telekomunikasi tersebut di wilayah perairan Indonesia tetap harus
mengikuti ketentuan internasional yang berlaku, yakni prinsip tidak saling mengganggu dan
sesuai dengan peruntukannya.
Ayat (2)
Larangan menggunakan spektrum frekuensi radio atau orbit satelit di wilayah perairan
Indonesia dimaksudkan untuk melindungi keamanan negara dan untuk mencegah dirugikannya
penyelenggaraan telekomunikasi.
Dinas bergerak pelayaran (maritime mobile service) adalah telekomunikasi antara stasiun
pantai dan stasiun kapal, antar stasiun kapal, antar stasiun komunikasi pelengkap di kapal, stasiun
kendaraan penyelamat, atau stasiun rambu radio penunjuk posisi darurat.
Ketentuan ini hanya berlaku untuk kapal sipil dan tidak berlaku bagi kapal milik Tentara
Nasional Indonesia.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Ketentuan teknis tentang perangkat telekomunikasi yang ditetapkan Pemerintah tidak
dapat diterapkan kepada pesawat udara asing karena pesawat udara asing tersebut mengikuti
ketentuan yang berlaku di negaranya.
Penggunaan perangkat telekomunikasi tersebut tetap harus mengikuti ketentuan
internasional yang berlaku, yakni prinsip tidak saling mengganggu dan sesuai dengan
peruntukkannya.
Ayat (2)
Larangan menggunakan spektrum frekuensi radio atau orbit satelit di wilayah udara
Indonesia dimaksudkan untuk melindungi keamanan negara dan untuk mencegah dirugikannya
penyelenggaraan telekomunikasi.
Dinas bergerak penerbangan (aeronautical mobile service) adalah telekomunikasi antara
stasiun penerbangan dan stasiun pesawat udara, antar stasiun pesawat udara yang juga dapat
mencakup stasiun kendaraan penyelamat, dan stasiun rambu radio penunjuk posisi darurat.
Dinas tersebut beroperasi pada frekuensi yang ditentukan untuk marabahaya dan keadaan
darurat.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 37
Asas timbal balik yang dimaksudkan dalam pasal ini adalah asas dalam hubungan
internasional untuk memberikan perlakuan yang lama kepada perwakilan diplomatik asing di
Indonesia sebagaimana perilaku yang diberikan kepada perwakilan Indonesia di negara yang
bersangkutan.
Pasal 38
Perbuatan yang dapat menimbulkan gangguan terhadap penyelenggaraan telekomunikasi
dapat berupa :
a. tindakan fisik yang menimbulkan kerusakan suatu jaringan tele komunikasi sehingga jaringan
tersebut tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya;
b. tindakan fisik yang mengakibatkan hubungan telekomunikasi tidak berjalan sebagaimana
mestinya;
c. penggunaan alat telekomunikasi yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis yang berlaku;
d. penggunaan alat telekomunikasi yang bekerja dengan gelombang radio yang tidak
sebagaimana mestinya sehingga menimbulkan gangguan terhadap penyelenggaraan
telekomunikasi lainnya; atau
e. penggunaan alat bukan telekomunikasi yang tidak sebagaimana mestinya sehingga
menimbulkan pengaruh teknis yang tidak dikehendaki suatu penyelenggaraan
telekomunikasi.

Pasal 39
Ayat (1)
Kegiatan pengamanan telekomunikasi dilaksanakan oleh penyelenggara telekomunikasi
yang dimulai sejak perencanaan pembangunan sampai dengan akhir masa pengoperasian.
Lingkup perencanaan pembangunan termasuk antara lain rancang bangun dan rekayasa,
yang harus memperhitungkan perlindungan dan pengamanan terhadap gangguan elektromagnetis,
alam, dan lingkungan.
Dalam kegiatan pengamanan dan perlindungan instalasi penyelenggara mengikutsertakan
masyarakat dan berkoordinasi dengan pihak yang berwenang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 40
Yang dimaksud dengan penyadapan dalam pasal ini adalah kegiatan memasang alat atau
perangkat tambahan pada jaringan telekomunikasi untuk tujuan mendapatkan informasi dengan
cara tidak sah. Pada dasarnya informasi yang dimiliki oleh seseorang adalah hak pribadi yang
harus dilindungi sehingga penyadapan harus dilarang.
Pasal 41
Rekaman informasi antara lain rekaman percakapan antar pihak yang bertelekomunikasi.
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan proses peradilan pidana dalam ketentuan ini mencakup
penyidikan, penuntutan dan penyidangan.
Huruf a
Yang dimaksud dengan tindak pidana tertentu adalah tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun ke atas, seumur hidup atau mati.
Hurut b
Contoh tindak pidana tertentu sesuai dengan Undang-undang yang berlaku ialah tindak
pidana yang sesuai dengan Undang-undang tentang Narkotika dan tindak pidana yang sesuai
dengan Undang-undang tentang Psikotropika.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Ayat (1) s/d Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 45
Pengenaan sanksi administrasi dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai upaya
pemerintah dalam rangka pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan telekomunikasi.
Pasal 46
Ayat (1) dan Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 47 s/d Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Ayat (1) dan Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 54 s/d Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Ayat (1)
Badan Penyelenggara adalah Badan Penyelenggara sesuai dengan yang dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan hal tertentu adalah hak eksklusivitas untuk menyelenggarakan
jasa telekomunikasi tetap sambungan lokal. Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ), dan
Sambungan Langsung internasional (SLI) yang diberikan oleh Pemerintah kepada Badan
Penyelenggara.
Sejalan dengan Undang-undang ini yang akan mengakhiri monopoli di bidang
telekomunikasi, Pemerintah dapat mempersingkat jangka waktu hak tertentu tersebut.
Untuk mempercepat berakhirnya jangka waktu hak tertentu dilakukan melalui cara dan
persyaratan yang disepakati bersama, dengan memperhatikan prinsip kejujuran dan keadilan serta
keterbukaan (fairness), misalnya dengan pembeiran kompensasi.
Pasal 62 s/d Pasal 64
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3881

UU RI NO. 40 THN 1999


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 40 TAHUN 1999
TENTANG
P E R S
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang :
a. bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan
rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis,
sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum
dalam Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945 harus dijamin;
b. bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat
sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi
manusia yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk
menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejateraan umum,
dan mencerdaskan kehidupan bangsa;
c. bahwa pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar
informasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak,
kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan
pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan
hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun;
d. bahwa pers nasional berperan ikut menjaga ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial;
e. bahwa Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan- ketentuan
Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4
Tahun 1967 dan diubah dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982
sudah tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf
a, b, c, d, dan e, perlu dibentuk Undang-undang tentang Pers;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27, dan Pasal 28 Undangundang
Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERS.
UU 40/1999: PERS
HOP Itjen Dep. Kimpraswil 2/11
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini, yang dimaksud dengan :
1. Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang
melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan,
suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk
lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran
yang tersedia.
2. Perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha
pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta
perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan,
atau menyalurkan informasi.
3. Kantor berita adalah perusahaan pers yang melayani media cetak, media
elektronik, atau media lainnya serta masyarakat umum dalam memperoleh informasi.
4. Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik.
5. Organisasi pers adalah organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers.
6. Pers nasional adalah pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers Indonesia.
7. Pers asing adalah pers yang diselenggarakan oleh perusahaan asing.
8. Penyensoran adalah penghapusan secara paksa sebagian atau seluruh materi
informasi yang akan diterbitkan atau disiarkan, atau tindakan teguran atau
peringatan yang bersifat mengancam dari pihak manapun, dan atau kewajiban
melapor, serta memperoleh izin dari pihak berwajib, dalam pelaksanaan kegiatan
jurnalistik.
9. Pembredelan atau pelarangan penyiaran adalah penghentian penerbitan dan
peredaran atau penyiaran secara paksa atau melawan hukum.
10. Hak Tolak adalah hak wartawan karena profesinya, untuk menolak
mengungkapkan nama dan atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus
dirahasiakannya.
11. Hak Jawab adalah seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan
tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama
baiknya.
12. Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan
kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang
orang lain.
13. Kewajiban Koreksi adalah keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap
suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah
diberitakan oleh pers yang bersangkutan.
14. Kode Etik Jurnalistik adalah himpunan etika profesi kewartawanan.
BAB II
ASAS, FUNGSI, HAK, KEWAJIBAN DAN
PERANAN PERS
Pasal 2
Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsipprinsip
demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.
Pasal 3
1. Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan,
dan kontrol sosial.
UU 40/1999: PERS
HOP Itjen Dep. Kimpraswil 3/11
2. Disamping fungsi-fungsi tersebut ayat (1), pers nasional dapat berfungsi
sebagai lembaga ekonomi.
Pasal 4
1. Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.
2. Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau
pelarangan penyiaran.
3. Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak
mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
4. Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan
mempunyai Hak Tolak.
Pasal 5
1. Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan
menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga
tak bersalah.
2. Pers wajib melayani Hak Jawab.
3. Pers wajib melayani Hak Tolak.
Pasal 6
Pers nasional melaksanakan peranannya sebagai berikut :
a. memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui;
b. menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan
Hak Asasi Manusia, serta menghormat kebhinekaan;
c. mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar;
d. melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
kepentingan umum;
e. memperjuangkan keadilan dan kebenaran;
BAB III
WARTAWAN
Pasal 7
1. Wartawan bebas memilih organisasi wartawan.
2. Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik.
Pasal 8
Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum.
BAB IV
PERUSAHAAN PERS
Pasal 9
1. Setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers.
2. Setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia.
Pasal 10
Perusahaan pers memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers
dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk
kesejahteraan lainnya.
Pasal 11
Penambahan modal asing pada perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal.
UU 40/1999: PERS
HOP Itjen Dep. Kimpraswil 4/11
Pasal 12
Perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawab secara
terbuka melalui media yang bersangkutan; khusus untuk penerbitan pers ditambah nama
dan alamat percetakan.
Pasal 13
Perusahaan iklan dilarang memuat iklan :
a. yang berakibat merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu kerukunan
hidup antar umat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat;
b. minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat aditif lainnya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. peragaan wujud rokok dan atau penggunaan rokok.
Pasal 14
Untuk mengembangkan pemberitaan ke dalam dan ke luar negeri, setiap warga negara
Indonesia dan negara dapat mendirikan kantor berita.
BAB V
DEWAN PERS
Pasal 15
1. Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers
nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen.
2. Dewan Pers melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut :
a. melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers;
b. menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik;
c. memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat
atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers;
d. mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah;
e. memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di
bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan;
f. mendata perusahaan pers;
3. Anggota Dewan Pers terdiri dari :
a. wartawan yang dipilih oleh organisasi wartawan;
b. pimpinan perusahaan pers yang dipilih oleh organisasi perusahaan pers;
c. tokoh masyarakat, ahli di bidang pers dan atau komunikasi, dan bidang lainnya yang
dipilih oleh organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers;
4. Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pers dipilih dari dan oleh anggota.
5. Keanggotaan Dewan Pers sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) pasal ini ditetapkan
dengan keputusan Presiden.
6. Keanggotaan Dewan Pers berlaku untuk masa tiga tahun dan sesudah itu hanya dapat
dipilih kembali untuk satu periode berikutnya.
7. Sumber pembiayaan Dewan Pers berasal dari :
a. organisasi pers;
b. perusahaan pers;
c. bantuan dari negara dan bantuan lain yang tidak mengikat.
BAB VI
PERS ASING
Pasal 16
Peredaran pers asing dan pendirian perwakilan perusahaan pers asing di
Indonesia disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
UU 40/1999: PERS
HOP Itjen Dep. Kimpraswil 5/11
BAB VII
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 17
1. Masyarakat dapat melakukan kegiatan untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan
menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan.
2. Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa :
a. Memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum, dan kekeliruan
teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers;
b. menyampaikan usulan dan saran kepada Dewan Pers dalam rangka menjaga dan
meningkatkan kualitas pers nasional.
BAB VIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 18
1. Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan
yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat
(2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau
denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).
2. Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13
dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).
3. Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dipidana
dengan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (Seratus juta rupiah).
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 19
1. Dengan berlakunya undang-undang ini segala peraturan perundang-undangan di
bidang pers yang berlaku serta badan atau lembaga yang ada tetap berlaku
atau tetap menjalankan fungsinya sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti
dengan yang baru berdasarkan undang-undang ini.
2. Perusahaan pers yang sudah ada sebelum diundangkannya undang-undang ini,
wajib menyesuaikan diri dengan ketentuan undang-undang ini dalam waktu
selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak diundangkannya undang-undang ini.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 20
Pada saat undang-undang ini mulai berlaku :
1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pers (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1966 Nomor 40, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2815) yang telah diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Perubahan atas
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuanketentuan
Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor
4 Tahun 1967 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 52,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia);
2. Undang-undang Nomor 4 PNPS Tahun 1963 tentang Pengamanan Terhadap
Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum
(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara
UU 40/1999: PERS
HOP Itjen Dep. Kimpraswil 6/11
Republik Indonesia Nomor 2533), Pasal 2 ayat (3) sepanjang menyangkut
ketentuan mengenai buletin-buletin, surat-surat kabar harian, majalah-majalah, dan
penerbitan-penerbitan berkala;
Dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 21
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap
orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 23 September 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 23 September 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS
NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
MULADI
Salinan sesuai dengan aslinya.
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan II
PR
Edy Sudibyo
UU 40/1999: PERS
HOP Itjen Dep. Kimpraswil 7/11
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 40 TAHUN 1999
TENTANG
P E R S
I. UMUM
Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945 menjamin kemerdekaan berserikat dan
berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Pers yang meliputi
media cetak, media elektronik dan media lainnya merupakan salah satu sarana
untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan tersebut. Agar pers
berfungsi secara maksimal sebagaimana diamanatkan Pasal 28 Undang-undang
Dasar 1945 maka perlu dibentuk Undang-undang tentang Pers. Fungsi maksimal
itu diperlukan karena kemerdekaan pers adalah salah satu perwujudan
kedaulatan rakyat dan merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis.
Dalam kehidupan yang demokratis itu pertanggungjawaban kepada rakyat
terjamin, sistem penyelenggaraan negara yang transparan berfungsi, serta
keadilan dan kebenaran terwujud.
Pers yang memiliki kemerdekaan untuk mencari dan menyampaikan informasi
juga sangat penting untuk mewujudkan Hak Asasi Manusia yang dijamin dengan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor:
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, antara lain yang menyatakan bahwa
setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi sejalan dengan
Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hak Asasi Manusia Pasal 19 yang
berbunyi : "Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan
pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa
gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan
buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas
wilayah".
Pers yang juga melaksanakan kontrol sosial sangat penting pula untuk
mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan baik korupsi, kolusi, nepotisme,
maupun penyelewengan dan penyimpangan lainnya.
Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati
hak asasi setiap orang, karena itu dituntut pers yang profesional dan terbuka
dikontrol oleh masyarakat.
UU 40/1999: PERS
HOP Itjen Dep. Kimpraswil 8/11
Kontrol masyarakat dimaksud antara lain : oleh setiap orang dengan dijaminnya
Hak Jawab dan Hak Koreksi, oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti
pemantau media (media watch) dan oleh Dewan Pers dengan berbagai bentuk
dan cara.
Untuk menghindari pengaturan yang tumpang tindih, undang-undang ini tidak
mengatur ketentuan yang sudah diatur dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Perusahaan pers dikelola sesuai dengan prinsip ekonomi, agar kualitas
pers dan kesejahteraan para wartawan dan karyawannya semakin meningkat
dengan tidak meninggalkan kewajiban sosialnya.
Pasal 4
Ayat 1
Yang dimaksud dengan "kemerdekaan pers dijamin sebagai hak
asasi warga negara" adalah bahwa pers bebas dari tindakan
pencegahan, pelarangan, dan atau penekanan agar hak
masyarakat untuk memperoleh informasi terjamin.
Kemerdekaan pers adalah kemerdekaan yang disertai kesadaran akan
pentingnya penegakan supremasi hukum yang dilaksanakan oleh
pengadilan, dan tanggung jawab profesi yang dijabarkan dalam Kode Etik
Jurnalistik serta sesuai dengan hati nurani insan pers.
Ayat 2
Penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran tidak berlaku
pada media cetak dan media elektronik. Siaran yang bukan
merupakan bagian dari pelaksanaan kegiatan jurnalistik diatur dalam
ketentuan undang-undang yang berlaku.
Ayat 3
Cukup jelas
Ayat 4
Tujuan utama Hak Tolak adalah agar wartawan dapat
melindungi sumber-sumber informasi, dengan cara menolak
menyebutkan identitas sumber informasi.
UU 40/1999: PERS
HOP Itjen Dep. Kimpraswil 9/11
Hal tersebut dapat digunakan jika wartawan dimintai keterangan oleh
pejabat penyidik dan atau diminta menjadi saksi di
pengadilan.
Hak tolak dapat dibatalkan demi kepentingan dan keselamatan negara
atau ketertiban umum yang dinyatakan oleh pengadilan.
Pasal 5
Ayat 1
Pers nasional dalam menyiarkan informasi, tidak menghakimi atau
membuat kesimpulan kesalahan seseorang, terlebih lagi untuk kasuskasus
yang masih dalam proses peradilan, serta dapat
mengakomodasikan kepentingan semua pihak yang terkait dalam
pemberitaan tersebut.
Ayat 2
Cukup jelas
Ayat 3
Cukup jelas
Pasal 6
Pers nasional mempunyai peranan penting dalam memenuhi hak
masyarakat untuk mengetahui dan mengembangkan pendapat umum, dengan
menyampaikan informasi yang tepat, akurat dan benar. Hal ini akan mendorong
ditegakkannya keadilan dan kebenaran, serta diwujudkannya supremasi
hukum untuk menuju masyarakat yang tertib.
Pasal 7
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Yang dimaksud dengan "Kode Etik Jurnalistik" adalah kode etik yang
disepakati organisasi wartawan dan ditetapkan oleh Dewan Pers.
Pasal 8
Yang dimaksud dengan “perlindungan hukum” adalah jaminan perlindungan
Pemerintah dan atau masyarakat kepada wartawan dalam melaksanakan fungsi,
hak, kewajiban, dan peranannya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 9
Ayat 1
Setiap warga negara Indonesia berhak atas kesempatan yang sama
untuk bekerja sesuai dengan Hak Asasi Manusia, termasuk
mendirikan perusahaan pers sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pers nasional mempunyai fungsi dan peranan yang penting dan strategis
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Oleh
UU 40/1999: PERS
HOP Itjen Dep. Kimpraswil
10/11
karena itu negara dapat mendirikan perusahaan pers dengan membentuk
lembaga atau badan usaha untuk menyelenggarakan usaha pers.
Ayat 2
Cukup jelas
Pasal 10
Yang dimaksud dengan "bentuk kesejahteraan lainnya" adalah peningkatan gaji,
bonus, pemberian asuransi dan lain-lain.
Pemberian kesejahteraan tersebut dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antara
manajemen perusahaan dengan wartawan dan karyawan pers.
Pasal 11
Penambahan modal asing pada perusahaan pers dibatasi agar tidak
mencapai saham mayoritas dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 12
Pengumuman secara terbuka dilakukan dengan cara :
a. media cetak memuat kolom nama, alamat, dan penanggung
jawab penerbitan serta nama dan alamat percetakan;
b. media elektronik menyiarkan nama, alamat, dan penanggungjawabnya pada awal
atau akhir setiap siaran karya jurnalistik;
c. media lainnya menyesuaikan dengan bentuk, sifat dan karakter
media yang bersangkutan.
Pengumuman tersebut dimaksudkan sebagai wujud pertanggungjawaban atas karya
jurnalistik yang diterbitkan atau disiarkan.
Yang dimaksud dengan "penanggung jawab" adalah penanggung jawab
perusahaan pers yang meliputi bidang usaha dan bidang redaksi.
Sepanjang menyangkut pertanggungjawaban pidana pengamat ketentuan perundangundangan
yang berlaku.
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Ayat 1
Tujuan dibentuknya Dewan Pers adalah untuk mengembangkan
kemerdekaan pers dan meningkatkan kualitas serta kuantitas pers
nasional.
Ayat 2
Pertimbangan atas pengaduan dari masyarakat sebagaimana
dimaksud ayat (2) huruf d adalah yang berkaitan dengan Hak
UU 40/1999: PERS
HOP Itjen Dep. Kimpraswil
11/11
Jawab, Hak Koreksi dan dugaan pelanggaran terhadap Kode
Etik Jurnalistik.
Ayat 3
Cukup jelas
Ayat 4
Cukup jelas
Ayat 5
Cukup jelas
Ayat 6
Cukup jelas
Ayat 7
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Untuk melaksanakan peran serta masyarakat sebagaimana
dimaksud dalam ayat ini dapat dibentuk lembaga atau organisasi
pemantau media (media watch).
Pasal 18
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Dalam hal pelanggaran pidana yang dilakukan oleh perusahaan pers,
maka perusahaan tersebut diwakili oleh penanggung jawab sebagaimana
dimaksud dalam penjelasan Pasal 12.
Ayat 3
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 3887

UU RI NO. 3 TAHUN 2002


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3 TAHUN 2002
TENTANG
PERTAHANAN NEGARA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa pertahanan negara bertitik tolak pada falsafah dan pandangan
hidup bangsa Indonesia untuk menjamin keutuhan dan tetap tegaknya
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945;
b. bahwa pertahanan negara sebagai salah satu fungsi pemerintahan
negara yang merupakan usaha untuk mewujudkan satu kesatuan
pertahanan negara guna mencapai tujuan nasional, yaitu untuk
melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan
ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial;
c. bahwa dalam penyelenggaraan pertahanan negara setiap warga negara
mempunyai hak dan kewajiban untuk ikut serta dalam upaya pembelaan
negara sebagai pencerminan kehidupan kebangsaan yang menjamin
hak-hak warga negara untuk hidup setara, adil, aman, damai, dan
sejahtera;
d. bahwa usaha pertahanan negara dilaksanakan dengan membangun,
memelihara, mengembangkan, dan menggunakan kekuatan pertahanan
negara berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, hak asasi manusia,
kesejahteraan umum, lingkungan hidup, ketentuan hukum nasional,
hukum internasional dan kebiasaan internasional, serta prinsip hidup
berdampingan secara damai;
e. bahwa Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuanketentuan
Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 51,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3234) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1988 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1988 Nomor 3, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3368) tidak sesuai lagi dengan perkembangan
ketatanegaraan Republik Indonesia dan perubahan kelembagaan
Tentara Nasional Indonesia yang didorong oleh perkembangan
kesadaran hukum yang hidup dalam masyarakat sehingga Undang-
Undang tersebut perlu diganti;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a,
b, c, d, dan e perlu dibentuk Undang-Undang tentang Pertahanan
Negara;
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 10, Pasal 11, Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2),
Pasal 27 ayat (3), dan Pasal 30 Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan MPR-RI Nomor: VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara
Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan
Ketetapan MPR-RI Nomor: VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara
Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia;
Dengan persetujuan bersama antara
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ME
MUT
USKA
N
:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERTAHANAN NEGARA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pertahanan negara adalah segala usaha untuk mempertahankan
kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan
gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.
2. Sistem pertahanan negara adalah sistem pertahanan yang bersifat
semesta yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber
daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah
dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berlanjut untuk
menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan
segenap bangsa dari segala ancaman.
3. Penyelenggaraan pertahanan negara adalah segala kegiatan untuk
melaksanakan kebijakan pertahanan negara.
4. Pengelolaan pertahanan negara adalah segala kegiatan pada tingkat
strategis dan kebijakan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, dan pengendalian pertahanan negara.
5. Komponen utama adalah Tentara Nasional Indonesia yang siap
digunakan untuk melaksanakan tugas-tugas pertahanan.
6. Komponen cadangan adalah sumber daya nasional yang telah disiapkan
untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan
memperkuat kekuatan dan kemampuan komponen utama.
7. Komponen pendukung adalah sumber daya nasional yang dapat
digunakan untuk meningkatkan kekuatan dan kemampuan komponen
utama dan komponen cadangan.
8. Sumber daya nasional adalah sumber daya manusia, sumber daya
alam, dan sumber daya buatan.
9. Sumber daya alam adalah potensi yang terkandung dalam bumi, air, dan
dirgantara yang dalam wujud asalnya dapat didayagunakan untuk
kepentingan pertahanan negara.
10. Sumber daya buatan adalah sumber daya alam yang telah ditingkatkan
daya gunanya untuk kepentingan pertahanan negara.
11. Sarana dan prasarana nasional adalah hasil budi daya manusia yang
dapat digunakan sebagai alat penunjang untuk kepentingan pertahanan
negara dalam rangka mendukung kepentingan nasional.
12. Warga negara adalah warga negara Republik Indonesia.
13. Dewan Perwakilan Rakyat adalah Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia.
14. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang pertahanan.
15. Panglima adalah Panglima Tentara Nasional Indonesia.
16. Kepala Staf Angkatan adalah Kepala Staf Angkatan Darat, Kepala Staf
Angkatan Laut, dan Kepala Staf Angkatan Udara.
BAB II
HAKIKAT, DASAR, TUJUAN, DAN FUNGSI
Pasal 2
Hakikat pertahanan negara adalah segala upaya pertahanan
bersifat semesta yang penyelenggaraannya didasarkan pada
kesadaran atas hak dan kewajiban warga negara serta
keyakinan pada kekuatan sendiri.
Pasal 3
(1) Pertahanan negara disusun berdasarkan prinsip demokrasi,
hak asasi manusia, kesejahteraan umum, lingkungan hidup,
ketentuan hukum nasional, hukum internasional dan kebiasaan
internasional, serta prinsip hidup berdampingan secara damai.
(2) Pertahanan negara disusun dengan memperhatikan kondisi
geografis Indonesia sebagai negara kepulauan.
Pasal 4
Pertahanan negara bertujuan untuk menjaga dan melindungi
kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa dari segala bentuk
ancaman.
Pasal 5
Pertahanan negara berfungsi untuk mewujudkan dan
mempertahankan seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagai satu kesatuan pertahanan.
BAB III
PENYELENGGARAAN PERTAHANAN NEGARA
Pasal 6
Pertahanan negara diselenggarakan melalui usaha membangun
dan membina kemampuan, daya tangkal negara dan bangsa,
serta menanggulangi setiap ancaman.
Pasal 7
(1) Pertahanan negara, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6,
diselenggarakan oleh pemerintah dan dipersiapkan secara dini
dengan sistem pertahanan negara.
(2) Sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman
militer menempatkan Tentara Nasional Indonesia sebagai
komponen utama dengan didukung oleh komponen cadangan
dan komponen pendukung.
(3) Sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman
nonmiliter menempatkan lembaga pemerintah di luar bidang
pertahanan sebagai unsur utama, sesuai dengan bentuk dan
sifat ancaman yang dihadapi dengan didukung oleh unsur-unsur
lain dari kekuatan bangsa.
Pasal 8
(1) Komponen cadangan, terdiri atas warga negara, sumber
daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana
nasional yang telah disiapkan untuk dikerahkan melalui
mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat komponen
utama.
(2) Komponen pendukung, terdiri atas warga negara, sumber
daya alam, sumberdaya buatan, serta sarana dan prasarana
nasional yang secara langsung atau tidak langsung dapat
meningkatkan kekuatan dan kemampuan komponen utama dan
komponen cadangan.
(3) Komponen cadangan dan komponen pendukung,
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur
dengan undang-undang.
Pasal 9
(1) Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam
upaya bela negara yang diwujudkan dalam penyelenggaraan
pertahanan negara.
(2) Keikutsertaan warga negara dalam upaya bela negara,
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diselenggarakan
melalui:
a. pendidikan kewarganegaraan;
b. pelatihan dasar kemiliteran secara wajib;
c. pengabdian sebagai prajurit Tentara Nasional Indonesia
secara sukarela atau secara wajib; dan
d. pengabdian sesuai dengan profesi.
(3) Ketentuan mengenai pendidikan kewarganegaraan, pelatihan
dasar kemiliteran secara wajib, dan pengabdian sesuai dengan
profesi diatur dengan undang-undang.
Pasal 10
(1) Tentara Nasional Indonesia berperan sebagai alat
pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(2) Tentara Nasional Indonesia, terdiri atas Angkatan Darat,
Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.
(3) Tentara Nasional Indonesia bertugas melaksanakan
kebijakan pertahanan negara untuk :
a. mempertahankan kedaulatan negara dan keutuhan
wilayah;
b. melindungi kehormatan dan keselamatan bangsa;
c. melaksanakan Operasi Militer Selain Perang; dan
d. ikut serta secara aktif dalam tugas pemeliharaan
perdamaian regional dan internasional.
Pasal 11
Susunan organisasi, tugas, dan fungsi Tentara Nasional
Indonesia sebagai alat pertahanan negara diatur dengan
undang-undang.
BAB IV
PENGELOLAAN SISTEM PERTAHANAN NEGARA
Pasal 12
Pengelolaan sistem pertahanan negara sebagai salah satu
fungsi pemerintahan negara ditujukan untuk melindungi
kepentingan nasional dan mendukung kebijakan nasional di
bidang pertahanan.
Pasal 13
(1) Presiden berwenang dan bertanggung jawab dalam
pengelolaan sistem pertahanan negara.
(2) Dalam pengelolaan sistem pertahanan negara, sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), Presiden menetapkan kebijakan umum
pertahanan negara yang menjadi acuan bagi perencanaan,
penyelenggaraan, dan pengawasan sistem pertahanan negara.
Pasal 14
(1) Presiden berwenang dan bertanggungjawab atas
pengerahan kekuatan Tentara Nasional Indonesia.
(2) Dalam hal pengerahan kekuatan Tentara Nasional Indonesia
untuk menghadapi ancaman bersenjata, kewenangan Presiden,
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus mendapat
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Dalam keadaan memaksa untuk menghadapi ancaman
bersenjata, Presiden dapat langsung mengerahkan kekuatan
Tentara Nasional Indonesia.
(4) Pengerahan langsung kekuatan Tentara Nasional Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), Presiden dalam waktu
paling lambat 2 X 24 (dua kali dua puluh empat) jam harus
mengajukan persetujuan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
(5) Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui
pengerahan, sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), Presiden
menghentikan pengerahan operasi militer.
Pasal 15
(1) Dalam menetapkan kebijakan umum pertahanan negara,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2), Presiden
dibantu oleh Dewan Pertahanan Nasional.
(2) Dewan Pertahanan Nasional, sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), berfungsi sebagai penasihat Presiden dalam
menetapkan kebijakan umum pertahanan dan pengerahan
segenap komponen pertahanan negara.
(3) Dalam rangka melaksanakan fungsinya, Dewan Pertahanan
Nasional mempunyai tugas :
a. Menelaah, menilai, dan menyusun kebijakan terpadu
pertahanan negara agar departemen pemerintah,
lembaga pemerintah nondepartemen, dan masyarakat
beserta Tentara Nasional Indonesia dapat
melaksanakan tugas dan tanggung jawab masingmasing
dalam mendukung penyelenggaraan pertahanan
negara.
b. Menelaah, menilai, dan menyusun kebijakan terpadu
pengerahan komponen pertahanan negara dalam
rangka mobilisasi dan demobilisasi.
c. Menelaah dan menilai resiko dari kebijakan yang akan
ditetapkan.
(4) Dewan Pertahanan Nasional sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), dipimpin oleh Presiden dengan keanggotaan, terdiri
atas anggota tetap dan anggota tidak tetap dengan hak dan
kewajiban yang sama.
(5) Anggota tetap terdiri atas Wakil Presiden, Menteri
Pertahanan, Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan
Panglima.
(6) Anggota tidak tetap terdiri atas pejabat pemerintah dan
nonpemerintah yang dianggap perlu sesuai dengan masalah
yang dihadapi.
(7) Anggota tetap dan tidak tetap diangkat oleh Presiden.
(8) Susunan organisasi dan tata kerja Dewan Pertahanan
Nasional, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih
lanjut dengan Keputusan Presiden.
Pasal 16
(1) Menteri memimpin Departemen Pertahanan.
(2) Menteri membantu Presiden dalam merumuskan kebijakan
umum pertahanan negara.
(3) Menteri menetapkan kebijakan tentang penyelenggaraan
pertahanan negara berdasarkan kebijakan umum yang
ditetapkan Presiden.
(4) Menteri menyusun buku putih pertahanan serta menetapkan
kebijakan kerja sama bilateral, regional, dan internasional di
bidangnya.
(5) Menteri merumuskan kebijakan umum penggunaan kekuatan
Tentara Nasional Indonesia dan komponen pertahanan lainnya.
(6) Menteri menetapkan kebijakan penganggaran, pengadaan,
perekrutan, pengelolaan sumber daya nasional, serta
pembinaan teknologi dan industri pertahanan yang diperlukan
oleh Tentara Nasional Indonesia dan komponen pertahanan
lainnya.
(7) Menteri bekerjasama dengan pimpinan departemen dan
instansi pemerintah lainnya serta menyusun dan melaksanakan
perencanaan strategis pengelolaan sumber daya nasional untuk
kepentingan pertahanan.
Pasal 17
(1) Presiden mengangkat dan memberhentikan Panglima
setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(2) Pengangkatan Panglima, sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), diangkat dari perwira tinggi Tentara Nasional Indonesia yang
sedang atau pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan.
(3) Presiden mengangkat dan memberhentikan Kepala Staf
Angkatan atas usul Panglima.
(4) Tata cara pengangkatan dan pemberhentian Panglima dan
Kepala Staf Angkatan, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dan ayat (3), diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.
Pasal 18
(1) Panglima memimpin Tentara Nasional Indonesia.
(2) Panglima menyelenggarakan perencanaan strategi dan
operasi militer, pembinaan profesi dan kekuatan militer, serta
memelihara kesiagaan operasional.
(3) Panglima berwenang menggunakan segenap komponen
pertahanan negara dalam penyelenggaraan operasi militer
berdasarkan undang-undang.
(4) Panglima bertanggung jawab kepada Presiden dalam
penggunaan komponen pertahanan negara dan bekerja sama
dengan Menteri dalam pemenuhan kebutuhan Tentara Nasional
Indonesia.
Pasal 19
Dalam menghadapi bentuk dan sifat ancaman nonmiliter di luar
wewenang instansi pertahanan, penanggulangannya
dikoordinasikan oleh pimpinan instansi sesuai bidangnya.
BAB V
PEMBINAAN KEMAMPUAN PERTAHANAN
Pasal 20
(1) Pembinaan kemampuan pertahanan negara ditujukan untuk
terselenggaranya sebuah sistem pertahanan negara
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.
(2) Segala sumber daya nasional yang berupa sumber daya
manusia, sumber daya alam dan buatan, nilai-nilai, teknologi,
dan dana dapat didayagunakan untuk meningkatkan
kemampuan pertahanan negara yang diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
(3) Pembangunan di daerah harus memperhatikan pembinaan
kemampuan pertahanan, sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), yang selanjutnya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 21
Pendayagunaan segala sumber daya alam dan buatan harus
memperhatikan prinsip-prinsip berkelanjutan, keragaman, dan
produktivitas lingkungan hidup.
Pasal 22
(1) Wilayah Indonesia dapat dimanfaatkan untuk pembinaan
kemampuan pertahanan dengan memperhatikan hak
masyarakat dan peraturan perundang-undangan.
(2) Wilayah yang digunakan sebagai instalasi militer dan latihan
militer yang strategis dan permanen ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 23
(1) Dalam rangka meningkatkan kemampuan pertahanan
negara, pemerintah melakukan penelitian dan pengembangan
industri dan teknologi di bidang pertahanan.
(2) Dalam menjalankan tugas, sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), Menteri mendorong dan memajukan pertumbuhan
industri pertahanan.
BAB VI
PENGAWASAN
Pas
al
2
4
(1) Dewan Perwakilan Rakyat melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan kebijakan umum pertahanan negara.
(2) Dewan Perwakilan Rakyat dapat meminta keterangan
tentang penyelenggaraan dan pengelolaan pertahanan negara.
BAB VII
PEMBIAYAAN
Pas
al
2
5
(1) Pertahanan negara dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara.
(2) Pembiayaan pertahanan negara ditujukan untuk
membangun, memelihara, mengembangkan, dan menggunakan
Tentara Nasional Indonesia serta komponen pertahanan lainnya.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pas
al
2
6
Pada saat berlakunya Undang-undang ini, semua peraturan
pelaksanaan tentang pertahanan negara yang sudah ada
dinyatakan tetap berlaku selama peraturan pelaksanaan yang
baru berdasarkan Undang-undang ini belum dikeluarkan dan
sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan Undangundang
ini.
Pas
al
2
7
Organisasi atau badan yang merupakan unsur penyelenggaraan
pertahanan negara yang sudah ada tetap berlaku sampai
dengan diubah atau diganti dengan organisasi atau badan baru
berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang ini.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 28
Pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini, maka Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 51,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3234) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1988 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara
Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1988 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3368), dinyatakan tidak berlaku.
Pa
s
al
2
9
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Di
s
ahk
an
di
J
ak
art
a
pada t
anggal
8
J
anua
ri
2002
P
RESI
DE
N
REP
UBLI
K
I
ND
ONESI
A
,
tt
d
ME
GA
WATI
S
OEKA
RN
OP
UT
R
I
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 8 Januari 2002
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
BAMBANG KESOWO
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan II,
ttd
Edy Sudibyo