Google
 

Sunday, April 20, 2008

UU RI NO. 15 THN 2002 TTG TP PENCUCIAN UANG

(Undang Undang RI Nomor 15 Tahun 2002 tanggal 17 April )

TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang:
a. bahwa kejahatan yang menghasilkan harta kekayaan dalam jumlah yang besar semakin
meningkat, baik kejahatan yang dilakukan dalam batas wilayah Negara Republik
Indonesia maupun yang melintasi batas wilayah negara;
b. bahwa asal usul harta kekayaan yang merupakan hasil dari kejahatan tersebut,
disembunyikan atau disamarkan dengan berbagai cara yang dikenal sebagai pencucian
uang;
c. bahwa perbuatan pencucian uang harus dicegah dan diberantas agar intensitas kejahatan
yang menghasilkan atau melibatkan harta kekayaan yang jumlahnya besar dapat
diminimalisasi sehingga stabilitas perekonomian nasional dan keamanan negara terjaga;
d. bahwa pencucian uang bukan saja merupakan kejahatan nasional tetapi juga kejahatan
transnasional, oleh karena itu harus diberantas, antara lain dengan cara melakukan kerja
sama regional atau international melalui forum bilateral atau multilateral;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c,
dan huruf d perlu membentuk Undang-undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang;
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No.VIII/MPR/2001
tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi.
2. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan
badan hukum maupun bukan badan hukum.
3. Harta Kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang
berwujud maupun yang tidak berwujud.
4. Penyedia Jasa Keuangan adalah setiap orang yang menyediakan jasa di bidang keuangan
termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek,
pengelola reksa dana, custodian, wali amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian,
pedagang valuta asing, dana pensiun, dan perusahaan asuransi.
5. Transaksi adalah seluruh kegiatan yang menimbulkan hak atau kewajiban atau
menyebabkan timbulnya hubungan hukum antara dua pihak atau lebih, termasuk kegiatan
pentransferan dan/atau pemindahbukuan dana yang dilakukan oleh Penyedia Jasa
Keuangan.
6. Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah transaksi yang menyimpang dari profil dan
karakteristik serta kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan, termasuk
transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk
menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan, yang wajib dilakukan oleh Penyedia
Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini.
7. Dokumen adalah data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau
didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang
tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara
elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada:
a. tulisan, suara, atau gambar;
b. peta, rancangan, foto atau sejenisnya;
c. huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat
dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
8. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang selanjutnya disebut PPATK
adalah lembaga independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas
tindak pidana pencucian uang.
Pasal 2
Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang berjumlah Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) atau lebih atau nilai yang setara, yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari
kejahatan:
a. korupsi;
b. penyuapan;
c. penyelundupan barang;
d. penyelundupan tenaga kerja;
e. penyelundupan imigran;
f. perbankan;
g. narkotika;
h. psikotropika;
i. perdagangan budak, wanita dan anak;
j. perdagangan senjata gelap;
k. penculikan;
l. terorisme;
m. pencurian;
n. penggelapan;
o. penipuan,
yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia, atau di luar wilayah Negara Republik
Indonesia dan kejahatan tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.
BAB II
TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
Pasal 3
1) Setiap orang yang dengan sengaja:
a. menempatkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana ke dalam Penyedia Jasa Keuangan, baik atas nama
sendiri atau atas nama pihak lain;
b. mentranfer Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan
hasil tindak pidana dari suatu Penyedia Jasa Keuangan ke Penyedia Jasa
Keuangan yang lain, baik atas nama sendiri maupun atas nama pihak lain;
c. membayarkan atau membelanjakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik perbuatan itu atas namanya
sendiri maupun atas nama pihak lain;
d. menghibahkan atau menyumbangkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau
patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri
maupun atas nama pihak lain;
e. menitipkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan
hasil tindak pidana;
f. membawa keluar negeri Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana;
g. menukarkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan
hasil tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga lainnya ; atau
h. menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul Harta Kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana.
Dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima)
tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
2) Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk
melakukan tindak pidana pencucian uang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1)
Pasal 4
(1) Apabila tindak pidana dilakukan oleh pengurus dan/atau kuasa pengurus atas nama korporasi,
maka penjatuhan pidana dilakukan baik terhadap pengurus dan/atau kuasa pengurus maupun
terhadap korporasi.
(2) Pertanggungan pidana bagi pengurus korporasi dibatasi sepanjang pengurus mempunyai
kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi.
(1) Korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu tindak pidana
pencucian uang yang dilakukan oleh pengurus yang mengatasnamakan korporasi, apabila
perbuatan tersebut dilakukan melalui kegiatan yang tidak termasuk dalam lingkup usahanya
sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi
korporasi yang bersangkutan.
(2) Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di sidang
pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang
pengadilan.
(3) Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan
penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal
pengurus atau di tempat pengurus berkantor.
Pasal 5
(1) Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap korporasi adalah pidana denda, dengan ketentuan
maksimum pidana denda 1/3 (satu per tiga)
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terhadap korporasi juga dapat
dijatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha dan/atau pembubaran korporasi
yang diikuti dengan likuidasi.
Pasal 6
(1) Setiap orang yang menerima atau menguasai:
a. penempatan;
b. pentransferan;
c. pembayaran;
d. hibah;
e. sumbangan;
f. penitipan;
g. penukaran;
Harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana,
dipidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan
denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak
Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah)
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi Penyedia Jasa Keuangan
yang melaksanakan kewajiban pelaporan transaksi keuangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13
Pasal 7
Setiap Warga Negara Indonesia dan/atau korporasi Indonesia yang berada di luar wilayah Negara
Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk
terjadinya tidak pidana pencucian uang dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak
pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
BAB III
TINDAKAN PIDANA LAIN YANG BERKAITAN DENGAN
TINDAKAN PIDANA PENCUCIAN UANG
Pasal 8
Penyedia Jasa Keuangan yang dengan sengaja tidak menyampaikan laporan kepada PPATK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), dipidana dengan pidana denda paling sedikit
Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
Pasal 9
Setiap orang yang tidak melaporkan uang tunai berupa rupiah sejumlah Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah) atau lebih yang dibawa ke dalam atau ke luar wilayah Negara Republik
Indonesia dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 10
PPATK, penyidik saksi, penuntut umum, hakim, atau orang lain yang bersangkutan dengan
perkara tindak pidana pencucian uang yang sedang diperiksa melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) dan Pasal 41 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun.
Pasal 11
(1) Dalam hal terpidana tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam
Bab II dan Bab II, pidana denda tersebut diganti dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun.
(2) Pidana penjara sebagai pengganti pidana denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dicantumkan dalam amat putusan hakim.
Pasal 12
Tindak pidana dalam Bab II dan Bab III adalah kejahatan
BAB IV
PELAPORAN
Bagian Kesatu
Kewajiban Melapor
(1) Penyedia Jasa Keuangan wajib menyampaikan laporan kepada PPATK sebagaimana
dimaksud dalam Bab V, untuk hal-hal sebagai berikut:
a. Transaksi Keuangan Mencurigakan;
b. Transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai dalam jumlah kumulatif sebesar
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih atau yang nilainya setara, baik
dilakukan dalam satu kali transaksi maupun beberapa kali transaksi dalam 1(satu) hari
kerja.
(2) Penyampaian laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) huruf a dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah diketahui oleh
Penyedia Jasa Keuangan.
(3) Penyampaian laporan transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf b dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak
tanggal transaksi dilakukan.
(4) Kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf h tidak berlaku untuk
transaksi yang dikecualikan.
(5) Transaksi yang dikecualikan dari kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
meliputi transaksi antarbank, transaksi dengan Pemerintah, transaksi dengan bank sentral,
pembayaran gaji, pension, dan transaksi lainnya atas permintaan Penyedia Jasa Keuangan
yang disetujui oleh PPATK.
(6) Penyedia Jasa Keuangan wajib membuat dan menyimpan daftar transaksi yang dikecualikan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (4).
(7) Ketentuan mengenai bentuk, jenis, dan tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kepala PPATK.
Pasal 14
Pelaksanaan kewajiban pelaporan oleh Penyedia Jasa Keuangan yang berbentuk bank,
dikecualikan dari ketentuan rahasia bank sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang yang
mengatur mengenai rahasia bank.
Pasal 15
Penyedia Jasa Keuangan, pejabat, serta pegawainya tidak dapat dituntut baik secara perdata
maupun pidana atas pelaksanaan kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.
Pasal 16
(1) Setiap orang yang membawa uang tunai ke dalam atau keluar wilayah Negara Republik
Indonesia berupa rupiah sejumlah Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau lebih, harus
melaporkan kepada Direktorat Jendral Bea dan Cukai.
(2) Direktorat Jendral Bea dan Cukai wajib menyampaikan laporan tentang informasi yang
diterimanya selama jangka waktu 5 (lima) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
kepada PPATK.
(3) Direktorat Jendral Bea dan Cukai wajib memberitahukan kepada PPATK paling lambat 5
(lima) hari kerja setelah mengetahui adanya pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
(4) Laporan sebagaimana dimaksudd dalam ayat (1) juga harus memuat rincian mengenai
identitas orang yang membuat laporan.
(5) Apabila diperlukan PPATK dapat meminta informasi tambahan dari Direktorat Jenderal Bea
dan Cukai berupa rupiah sejumlah Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau lebih, yang
dibawa oleh setiap orang dari atau ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia;
Bagian Kedua
Identitas Nasabah
Pasal 17
(1) Setiap orang yang melakukan hubungan usaha dengan Penyedia Jasa Keuangan wajib
memberikan identitasnya secara lengkap dan akurat dengan mengisi formulir yang
disediakan oleh Penyedia Jasa Keuangan dan melampirkan dokumen pendukung yang
diperlukan.
(2) Penyedia Jasa Keuangan wajib memastikan pengguna jasa keuangan bertindak untuk diri
sendiri atau untuk orang lain.
(3) Dalam hal pengguna jasa keuangan bertindak untuk orang lain, Penyedia Jasa Keuangan
wajib meminta informasi mengenai identitas dan dokumen pendukung dari pihak lain
tersebut.
(4) Bagi Penyedia Jasa Keuangan yang berbentuk bank, identitas dan dokumen pendukung yang
diminta dari pengguna jasa keuangan haru sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(5) Penyedia Jasa Keuangan wajib menyimpan catatan dan dokumen mengenai identitas
pengguna jasa keuangan sampai dengan 5 (lima) tahun sejak berakhirnya hubungan usaha
dengan pengguna jasa keuangan tersebut.
BAB V
PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN
Pasal 18
(1) Dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang, dengan Undangundang
ini dibentuk PPATK.
(2) PPATK sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah lembaga yang independen dalam
melaksanakan tugas dan kewenangannya.
(3) PPATK bertanggung jawab kepada Presiden.
Pasal 19
(1) PPATK berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia
(2) Dalam hal diperlukan dapat dibuka perwakilan PPATK di daerah.
Pasal 20
(1) PPATK dipimpin oleh seorang kepala dan dibantu oleh paling banyak 4 (empat) orang wakil
kepala.
(2) Kepala dan wakil kepala sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diangkat dan diberhentikan
oleh Presiden dan usul Menteri Keuangan.
(3) Masa jabatan kepala dan wakil kepala sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah 4
(empat) tahun dan dapat diangkat kembali hanya untuk 1(satu) kali masa jabatan berikutnya.
(4) Ketentuan mengenai susunan organisasi dan tata kerja PPATK diatur dengan Keputusan
Presiden.
Pasal 21
Untuk dapat diangkat sebagai kepala atau wakil kepala PPATK, calon yang bersangkutan harus
memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Warga Negara Indonesia;
b. berusia sekurang-kurangnya 35 (tiga puluh lima) dan setinggi-tingginya 60 (enam puluh)
tahun pada saat pengangkatan;
c. sehat jasmani dan rohani;
d. takwa, jujur, adil, dan memiliki integritas pribadi yang baik;
e. memiliki salah satu keahlian dan pengalaman di bidang perbankan, lembaga pembiayaan
perusahaan efek, pengelola reksa dana, hukum, atau akuntansi;
f. tidak merangkap jabatan atau pekerjaan lain; dan
g. tidak pernah dijatuhi pidana penjara.
Pasal 22
(1) Kepala dan wakil kepala PPATK sebelum memangku jabatannya wajib mengucapkan
sumpah dan janji menurut agama dan kepercayaan di hadapan Ketua Mahkamah Agung.
(2) Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berbunyi sebagai berikut:
“Saya bersumpah/berjanji, bahwa saya untuk menjadi wakil kepala/wakil Kepala PPATK
langsung atau tidak langsung dengan nama dan dalih apapun tidak memberikan atau
menjanjikan untuk memberikan sesuatu kepada siapapun”.
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya dalam melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
jabatan ini, tidak akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga sesuatu
janji atau pemberian dalam bentuk apapun.”
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan merahasiakan kepada siapapun hal-hal yang
menurut peraturan perundang-undangan wajib dirahasiakan.”
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan melaksanakan tugas dan kewenangan selaku
kepala/wakil kepala dengan sebaik-baiknya dan dengan penuh rasa tanggung jawab.”
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia terhadap negara, konstitusi, dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku”.
Pasal 23
Jabatan kepala atau wakil kepala PPATK berakhir, karena yang bersangkutan:
a. diberhentikan;
b. meninggal dunia;
c. mengundurkan diri; atau
d. berakhir masa jabatannya.
Pasal 24
(1) Kepala dan wakil kepala PPATK diberhentikan karena;
a. bertempat tinggal diluar wilayah Negara Republik Indonesia;
b. kehilangan kewarganegaraannya sebagai warga Negara Republik Indonesia;
c. menderita sakit terus menerus yang penyembuhannya memerlukan waktu lebih dari 3
(tiga) bulan yang tidak memungkinkan melaksanakan tugasnya;
d. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara
yang lamanya 1(satu) tahun atau lebih;
e. dijatuhi pidana penjara;
f . merangkap jabatan atau pekerjaan lain;
g. dinyatakan pailit oleh pengadilan; atau
h. melanggar sumpah/janji jabatan.
(2) Menteri Keuangan wajib mengajukan usul kepada Presiden agar kepala atau wakil
kepala PPATK diberhentikan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1)
Pasal 25
(1) Setiap pihak tidak boleh melakukan segala bentuk campur tangan terhadap
pelaksanaan tugas dan kewenangan PPATK.
(2) Kepala dan wakil kepala PPATK wajib menolak setiap campur tangan dari pihak
manapun dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya.
(3) PPATK dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian
uang, dapat melakukan kerja sama dengan pihak yang terkait, baik nasional maupun
international.
Pasal 26
Dalam melaksanakan fungsinya PPATK mempunyai tugas sebagai berikut:
a. mengumpulkan, menyimpan, menganalis, mengevaluasi informasi yang diperoleh oleh
PPATK sesuai dengan Undang-undang ini;
b. memantau catatan dalam buku daftar pengecualian yang dibuat oleh Penyedia Jasa
Keuangan;
c. membuat pedoman mengenai tata cara pelaporan Transaksi Keuangan Mencurigakan;
d. memberikan nasihat dan bantuan kepada instansi yang berwenang tentang informasi yang
diperoleh oleh PPATK sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini;
e. mengeluarkan pedoman dan publikasi kepada Penyedia Jasa Keuangan tentang
kewajibannya yang ditentukan dalam Undang-undang ini atau dengan peraturan
perundang-undangan lain, dan membantu dalam mendeteksi perilaku nasabah yang
mencurigakan;
f. memberikan rekomendasi kepada Pemerintah mengenai upaya-upaya pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pencucian uang;
g. melaporkan hasil analisis transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian
uang kepada kepolisian dan kejaksaan;
h. membuat dan memberikan laporan mengenai hasil analisis transaksi keuangan dan kegiatan
lainnya secara berkala 6 (enam) bulan sekali kepada Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat,
dan lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap Penyedia Jasa Keuangan.
Pasal 27
(1) Dalam melaksanakan tugasnya PPATK mempunyai wewenang:
a. meminta dan menerima laporan dari Penyedia Jasa Keuangan;
b. meminta informasi mengenai perkembangan penyidikan atau penuntutan terhadap tindak
pidana pencucian uang yang telah dilaporkan kepada penyidik atau penuntut umum;
c. melakukan audit terhadap Penyedia Jasa Keuangan mengenai kepatuhan kewajiban
sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan terhadap pedoman pelaporan
mengenai transaksi keuangan;
d. memberikan pencualian kewajiban pelaporan mengenai transaksi keuangan yang
dilakukan secara tunai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b.
(2) Dalam melakukan audit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c, PPATK terlebih
dahulu melakukan koordinasi dengan lembaga yang melakukan pengawasan terhadap
Penyedia Jasa Keuangan.
(3) Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), terhadap PPATK
tidak berlaku ketentuan Undang-undang lain yang berkaitan dengan ketentuan tentang
rahasia bank dan kerahasiaan transaksi keuangan lainnya.
(4) ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.
Pasal 28
(1) Kepala PPATK mewakili PPATK di dalam dan di luar pengadilan.
(2) Kepala PPATK dapat menyerahkan kewenangan mewakili sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) kepada salah satu wakil kepala PPATK atau pihak lainnya yang khusus ditunjuk
untuk itu.
Pasal 29
(1) Setiap tahun PPATK wajib menyusun Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan.
(2) Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan
melalui Sekretariat Negara.
BAB VI
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN
Pasal 30
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini, dilakukan berdasarkan ketentuan dalam
Hukum Acara Pidana, Kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini.
Pasal 31
Dalam hal ditemukan adanya petunjuk atas dugaan telah ditemukan transaksi mencurigakan,
dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak ditemukan petunjuk tesebut, PPATK wajib
menyerahkan hasil analisis kepada penyidik untuk ditindaklanjuti.
Pasal 32
(1) Penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang memerintahkan kepada Penyedia Jasa
Keuangan untuk melakukan pemblokiran terhadap Harta Kekayaan setiap orang yang telah
dilaporkan oleh PPATK kepada penyidik, tersangka, atau terdakwa yang diketahui atau
patut diduga merupakan hasil tindak pidana.
(2) Perintah penyidik, penuntut umum, atau hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
dilakukan secara tertulis dengan menyebutkan secara jelas mengenai:
a. nama dan jabatan penyidik, penuntut umum atau hakim:
b. identitas setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK kepada penyidik, tersangka,
atau terdakwa;
c. alasan pemblokiran;
d. tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan; dan
e. tempat Harta Kekayaan berada.
(3) Penyedia Jasa Kekayaan setelah menerima perintah penyidik, penuntut umum, atau hakim
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib melaksanakan pemblokiran sesaat setelah
surat perintah pemblokiran diterima.
(4) Penyedia Jasa Keuangan, wajib menyerahkan berita acara pelaksanaan pemblokiran kepada
penyidik, penuntut umum, atau hakim paling lambat 1 (satu) hari kerja terhitung sejak
tanggal pelaksanaan pemblokiran.
(5) Harta Kekayaan yang diblokir harus tetap berada pada Penyedia Jasa Keuangan yang
bersangkutan.
(6) Penyedia Jasa Keuangan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
dan ayat (4) dikenai saksi administratif sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 33
(1) Untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak pidana pencucian uang, maka
penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang untuk meminta keterangan dari Penyedia
Jasa Keuangan mengenai Harta Kekayaan setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK,
tersangka, atau terdakwa.
(2) Dalam meminta keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terhadap penyidik,
penuntut umum, atau hakim tidak berlaku ketentuan Undang-undang yang mengatur
tentang rahasia bank dan kerahasiaan transaksi keuangan lainnya.
(3) Permintaan keterangan harus diajukan secara tertulis dengan menyebutkan secara jelas
mengenai:
a. nama dan jabatan penyidik, penuntut umum, atau hakim;
b. identitas setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK, tersangka, atau terdakwa;
c. tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan ; dan
d. tempat Harta Kekayaan berada.
(4) Surat permintaan untuk memperoleh keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) harus ditandatangani oleh:
a. Kepala Kepolisian Daerah dalam hal permintaan diajukan oleh penyidik;
b. Kepala Kejaksaan Tinggi dalam hal permintaan diajukan oleh penuntut umum;
c. Hakim Ketua Majelis yang memeriksa perkara yang bersangkutan.
Pasal 34
Dalam hal diperoleh bukti yang cukup sebagai hasil pemeriksaan di sidang pengadilan
terhadap terdakwa, hakim memerintahkan penyitaan terhadap Harta Kekayaan yang diketahui
atau patut diduga hasil tindak pidana yang belum disita oleh penyidik atau penuntut umum.
Pasal 35
Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa
Harta Kekayaan bukan merupakan hasil tindak pidana.
Pasal 36
(1) Dalam hal terdakwa telah dipanggil 3 (tiga) kali secara sah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangan-undangan yang berlaku tidak hadir Majelis Hakim dengan putusan
sela dapat meneruskan pemeriksaan dengan tanpa kehadiran terdakwa.
(2) Apabila dalam sidang berikutnya sebelum perkara diputus terdakwa hadir, maka terdakwa
wajib diperiksa, dan segala keterangan saksi dan surat yang dibacakan dalam sidang
sebelumnya mempunyai kekuatan pembuktian yang sama dengan apabila terdakwa telah
hadir sejak semula.
(3) Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum dalam
papan pengumuman pengadilan yang memutus dan sekurang-kurangnya dimuat dalam 2
(dua) surat kabar yang memiliki jangkauan peredaran secara nasional sekurang-kurangnya
dalam jangka waktu 3 (tiga) hari atau 3 (tiga) kali penerbitan secara terus menerus.
Pasal 37
Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan hakim dijatuhkan dan terdapat buktibukti
yang menyakinkan bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana pencucian
uang, maka hakim dapat mengeluarkan penetapan bahwa Harta Kekayaan terdakwa yang telah
disita, dirampas untuk negara.
Pasal 38
Alat bukti pemeriksaan tindak pidana pencucian uang berupa:
a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana;
b. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara
elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
c. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 7.
BAB VII
PERLINDUNGAN BAGI PELAPORAN DAN SAKSI
Pasal 39
(1) PPATK, penyidik, penuntut umum, atau hakim wajib merahasiakan identitas pelapor.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memberikan hak
kepada pelapor atau ahli warisnya untuk menuntut ganti kerugian melalui pengadilan.
Pasal 40
(1) Setiap orang yang melaporkan terjadinya dugaan tindak pidana pencucian uang, wajib
diberi perlindungan khusus oleh negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan
diri, jiwa dan/atau hartanya, termasuk keluarganya.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pemberian perlindungan khusus sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 41
(1) Di sidang pengadilan, saksi, penuntut umum, hakim, dan orang lain yang bersangkutan
dengan tindak pidana pencucian uang yang sedang dalam pemeriksaan dilarang menyebut
nama atau alamat pelapor, atau hal-hal lain yang memungkinkan dapat terungkapnya
identitas pelapor.
(2) Dalam setiap persidangan sebelum sidang pemeriksaan dimulai hakim wajib mengingatkan
saksi, penuntut umum, dan orang lain yang terkait dengan pemeriksaan perkara tersebut,
mengenai larangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 42
(1) Setiap orang yang memberikan kesaksian dalam pemeriksaan tindak pidana pemeriksaan
tindak pidana pencucian uang, wajib diberi perlindungan khusus oleh negara dari
kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, termasuk
keluarganya.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pemberian perlindungan khusus sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 43
Pelapor dan/atau saksi tidak dapat dituntut baik secara perdata atau pidana atas pelaporan
dan/atau kesaksian yang diberikan oleh yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
40 dan Pasal 42.
BAB VIII
KERJA SAMA INTERNATIONAL
Pasal 44
Dalam rangka penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan
terhadap orang atau korporasi yang diketahui atau patut diduga telah melakukan tindak pidana
pencucian uang, dapat dilakukan kerja sama regional dan internasional melalui forum bilateral
atau multilateral sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 45
(1) Kepala dan wakil kepala PPATK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 harus sudah
ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun setelah Undang-undang ini diundangkan.
(2) PPATK harus sudah melaksanakan fungsinya paling lambat 6 (enam) bulan setelah kepala
dan wakil kepala PPATK ditetapkan.
(3) Sebelum PPATK melaksanakan fungsinya sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), sebagian
tugas dan kewenangan PPATK khusus menyangkut Penyedia Jasa Keuangan yang
berbentuk bank dilaksanakan oleh Bank Indonesia sesuai dengan Peraturan Bank
Indonesia.
(4) Kewajiban pelaporan bagi Penyedia Jasa Keuangan mulai berlaku 18 (delapan belas) bulan
setelah Undang-undang ini diundangkan.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 46
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 17 April 2002
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 17 April 2002
SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 30
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 15 TAHUN 2002
TENTANG
TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
I. UMUM
Berbagai kehajatan, baik yang dilakukan oleh orang perseorangan maupun oleh korporasi
dalam batas wilayah suatu negara maupun yang dilakukan melintasi batas wilayah, negara lain
makin meningkat. Kejahatan tersebut antara lain berupa tindak pidana korupsi, penyuapan
(bribery), penyelundupan barang, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan imigran,
perbankan, perdagangan gelap narkotika dan psikotropika, perdagangan budak, wanita dan
anak, perdagangan senjata gelap, penculikan, terorisme, pencurian, penggelapan, penipuan dan
berbagai kejahatan kerah putih. Kejahatan-kejahatan tersebut telah melibatkan atau
menghasilkan Harta Kekayaan tersebut telah melibatkan atau menghasilkan Harta Kekayaan
yang sangat besar jumlahnya.
Harta Kekayaan yang berasal dari berbagai kejahatan atau tindak pidana tersebut, pada
umumnya tidak langsung dibelanjakan atau digunakan oleh para pelaku kejahatan karena
apabila langsung digunakan akan mudah dilacak oleh penegak hukum mengenai sumber
diperolehnya Harta Kekayaan tersebut. Biasanya para pelaku kejahatan terlebih dahulu
mengupayakan agar Harta Kekayaan yang diperoleh dari kejahatan tersebut masuk ke dalam
sistem keuangan (financial system), terutama ke dalam sistem perbankan (banking system).
Dengan cara demikian, asal usul Harta Kekayaan tersebut diharapkan tidak dapat dilacak oleh
para penegak hukum. Upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta
Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana sebagaimana dimaksud Undang-undang ini,
dikenal sebagai pencucian uang (money laundering).
Bagi Organisasi kejahatan, Harta Kekayaan sebagai hasil kejahatan ibarat darah dalam satu
tubh, dalam pengertian apabila aliran Harta Kekayaan melalui sistem perbankan internasional
yang dilakukan diputuskan, maka organisasi kejahatan tersebut lama kelamaan akan menjadi
lemah, berkurang aktivitasnya, bahkan menjadi mati. Oleh karena itu, Harta Kekayaan
merupakan bagian yang sangat penting bagi suatu organisasi kejahatan. Untuk itu, terdapat
suatu dorongan bagi organisasi kejahatan melakukan pencucian uang agar asal usul Harta
Kekayaan yang sangat dibutuhkan tersebut sulit atau tidak dapat dilacak oleh penegak hukum.
Perbuatan pencucian uang di samping sangat merugikan masyarakat, juga sangat merugikan
negara karena dapat mempengaruhi atau merusak stabilitas perekonomian nasional atau
keuangan negara dengan meningkatnya berbagai kejahatan.
Sehubungan dengan hal tersebut, upaya untuk mencegah dan memberantas praktik pencucian
uang telah menjadi perhatian internasional. Berbagai upaya telah ditempuh oleh masingmasing
negara untuk mencegah dan memberantas praktik pencucian uang termasuk dengan
cara melakukan kerja sama internasional, baik melalui forum secara bilateral maupun
multilateral.
Dalam konteks kepentingan nasional ditetapkan Undang-undang tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang merupakan penegasan bahwa Pemerintah dan sector swasta bukan merupakan
bagian dari masalah, akan tetapi bagian dari penyelesaian masalah, baik di sektor ekonomi,
keuangan, maupun perbankan.
Pertama-tama usaha yang harus ditempuh oleh suatu negara untuk dapat mencegah dan
memberantas praktik pencucian uang adalah dengan membentuk Undang-undang yang
melarang perbuatan pencucian uang dan menghukum dengan berat para pelaku kejahatan
tersebut.
Dengan adanya Undang-undang tersebut diharapkan tindak pidana pencucian uang dapat
dicegah atau diberantas, antara lain kriminalisasi atas semua perbuatan dalam setiap tahap
proses pencucian uang yang terdiri atas:
a. penempatan (placement) yakni upaya menempatkan uang tunai yang berasal dari tindak
pidana ke dalam sistem keuangan (financial system) atau upaya menempatkan uang giral
(cheque, wesel bank, sertifikat deposito, dan lain) kembali ke dalam sistem keuangan,
terutama sistem perbankan.
b. transfer (layering) yakni upaya untuk mentransfer Harta Kekayaan yang berasal dari tindak
pidana (dirty money) yang telah berhasil ditempatkan pada Penyedia Jasa Keuangan
(terutama bank) sebagai hasil upaya penempatan (placement) ke Penyedia Jasa Keuangan
yang lain. Dengan dilakukan layering, akan menjadi sulit bagi penegak hukum untuk dapat
mengetahui asal usul Harta Kekayaan tersebut.
c. menggunakan Harta Kekayaan (intergration) yakni upaya menggunakan Harta Kekayaan
yang berasal dari tindak pidana yang telah berhasil masuk ke dalam sistem keuangan
melalui penempatan atau transfer sehingga seolah-olah menjadi Harta Kekayaan halal (clean
money), untuk kegiatan bisnis yang halal atau untuk membiayai kembali kegiatan kejahatan.
Penyedia Jasa Keuangan di atas diartikan sebagai penyedia jasa di bidang keuangan termasuk
tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga, pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana,
custodian, wali amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana
pensiun, dan perusahaan asuransi.
Adapun yang dimaksud dengan:
- bank adalah sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai perbankan.
- lembaga pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan sebagaimana
dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai lembaga
pembiayaan.
- efek, custodian, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, perusahaan efek, pengelola reksa
dana, rekening efek, reksa dana, dan wali amanat adalah efek, custodian, lembaga
penyimpanan dan penyelesaian, perusahaan efek pengelola reksa dana, rekening efek, reksa
dan, dan wali amanat sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai pasar modal.
- pedagang valuta asing adalah pedagang valuta asing sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai pedagang valuta asing.
- dana pensiun adalah dana pensiun sebagaimana dimaksud dalam peraturan peundanganundangan
yang mengatur mengenai dana pension.
- perusahaan asuransi adalah perusahaan asuransi sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundangan-undangan yang mengatur mengenai perusahaan asurasnsi.
Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dalam Undangundang
ini dibentuk pula Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang disingkat
dengan PPATK, yang bertugas:
a. mengumpulkan, menyimpan, menganalisis, mengevaluasi informasi yang diperoleh PPATK
sesuai dengan Undang-undang ini;
b memantau catatan dalam buku daftar pengecualian yang dibuat oleh Penyedia Jasa
Keuangan;
c. membuat pedoman mengenai tata cara pelaporan Transaksi Keuangan yang Mencurigakan;
d. memberikan nasihat dan bantuan kepada instansi yang berwenang tentang informasi yang
diperoleh oleh PPATK sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini;
e. mengeluarkan pedoman dan publikasi kepada Penyedia Jasa Keuangan tentang
Kewajibannya yang ditentukan dalam Undang-undang ini atau dengan peraturan perundangundangan
lain, dan membantu dalam mendeteksi perilaku nasabah yang mencurigakan;
f. memberikan rekomendasi kepada Pemerintah mengenai upaya-upaya pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pencucian uang;
g. melaporkan hasil analisis transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang
kepada Kepolisian dan Kejaksaan;
h. membuat dan memberikan laporan mengenai hasil analisis transaksi keuangan dan kegiatan
lainnya secara berkala 6 (enam) bulan sekali kepada Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat,
dan lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap Penyedian Jasa Keuangan.
Disamping itu, untuk memperlancar proses peradilan tindak pidana pencucian uang, Undangundang
ini mengatur kewenangan penyidik, penuntut umum, atau hakim sesuai dengan tingkat
penanganan perkara untuk dapat meminta pemblokiran Harta Kekayaan kepada Penyedia Jasa
Keuangan. Undang-undang ini juga mengatur kewenangan penyidik, penuntut umum, atau
hakim untuk meminta keterangan dari Penyedia Jasa Keuangan mengenai Harta Kekayaan
setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK, tersangka, atau terdakwa.
Selain kekhususannya di atas, Undang-undang ini juga mengatur mengenai persidangan tanpa
kehadiran terdakwa, dalam hal terdakwa yang telah dipanggil 3 (tiga) kali secara sah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak hadir, maka Majelis Hakim dengan
putusan sela dapat meneruskan pemeriksaan dengan tanpa kehadiran terdakwa.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka perlu segera dibentuk undang-undang
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
II. Pasal Demi Pasal.
Pasal 1 dan Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “merupakan hasil tindak pidana” yaitu sudah terdapat bukti permulaan
yang cukup atas terjadinya tindak pidana.
Huruf b s.d. Huruf h
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pengurus yang mempunyai kedudukan fungsional” adalah pengurus
yang menurut anggaran dasar korporasi berwenang bertindak untuk dan atas nama korporasi
yang bersangkutan baik di dalam maupun di luar pengadilan.
Ayat (3) s.d. Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 5 s.d. Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “Transaksi Keuangan Mencurigakan” dalam ketentuan ini antara lain
transaksi penerimaan, penarikan, penyetoran, penitipan, dan transfer dana.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai” dalam ketentuan ini
antara lain transaksi penerimaan, penarikan, penyetoran, penitipan, baik yang dilakukan
dengan uang tunai maupun instrumen pembayaran yang lain, misalnya traveler cheque, cek,
dan bilyet giro.
Ayat (2) s.d. Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “:transaksi lainnya” adalah transaksi-transaksi yang dikecualikan yang
sesuai dengan karakteristiknya selalu dilakukan dalam bentuk tunai dan dalam jumlah yang
besar, misalnya setoran rutin oleh pengelola jalan tol atau pengelola supermarket.
Ayat (6) dan Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 14 s.d. Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
- Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk memudahkan bagi penegak hukum melakukan
pelacakan terhadap nasabah apabila di kemudian hari terdapat dugaan bahwa yang
bersangkutan melakukan tindak pidana pencucian uang.
- Selain itu, ketentuan tersebut juga sejalan dengan kesepakatan internasional yang
menginginkan agar setiap negara memiliki ketentuan yang melarang pembukaan rekening
tanpa identitas yang jelas dari nasabah.
- Yang dimaksud dengan “identitas yang lengkap dan akurat” antara lain menyebutkan nama,
alamat, jenis kelamin, umur, agama, dan pekerjaan.
- Hubungan usaha dengan Penyedia Jasa Keuangan dalam ketentuan ini termasuk pembukaan
rekening, pengiriman dana melalui transfer, penguangan cek, pembelian traveler cheques,
pembelian dan penjualan valuta asing, penitipan, dan, penggunaan jasa keuangan lainnya.
Ayat (2) dan Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” pada saat ini adalah Peraturan Bank
Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001 tentang Pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/23/PBI/2001 dan peraturan
pelaksanaannya.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “independen” adalah bebas dari intervensi dan pengaruh dari pihak
manapun.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 19 s.d.Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Huruf a
Pemberhentian kepala atau wakil kepala PPATK yang berada diluar wilayah Negara Republik
Indonesia dimaksudkan agar tugas-tugas dari PPATK dapat dilaksanakan secara maksimal.
Huruf b s.d.Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Tidak selayaknya bagi orang yang telah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana untuk
melakukan tugas pemberantasan suatu tindak pidana.
Huruf f
Perangkapan jabatan atau pekerjaan dilarang untuk menghindari terjadinya konflik
kepentingan.
Huruf g dan huruf h
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 25
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “melakukan segala bentuk campur tangan” adalah perbuatan atau
tindakan dari pihak manapun yang mengakibatkan berkurangnya kebebasan PPATK untuk
dapat melaksanakan fungsi dan tugasnya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Penyelenggaraan kerja sama internasional dilakukan dengan memperhatikan ketentuan dalam
Undang-undang yang mengatur mengenai hubungan luar negeri dan mengenai perjanjian
internasional.
Pasal 26 s.d Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Ayat (1)
Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan dimaksudkan agar segala sesuatu yang
akan dilakukan oleh PPATK untuk setiap tahun dapat dilaksanakan sesuai dengan target yang
ditentukan sehingga dapat dievaluasi mengenai keberhasilan atau kendala yang dihadapi.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 30 dan Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Ayat (1)
Perintah penyidik, penuntut umum, atau hakim sesuai dengan tahap pemeriksaan, yakni pada
tahap penyidikan kewenangan pada penyidik, pada tahap penuntutan kewenangan pada
penuntut umum, dan kewenangan hakim pada tahap pemeriksaan di sidang pengadilan.
Ayat (2) s.d. Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Ketentuan ini merupakan pengecualian dari ketentuan rahasia bank dan kerahasiaan transaksi
keuangan lainnya sebagaimana diatur dalam Undang-undang yang mengatur mengenai rahasia
bank dan kerahasiaan transaksi keuangan lainnya.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Dalam hal Kepala Kepolisian Daerah atau Kepala Kejaksaan Tinggi berhalangan,
penandatanganan dapat dilakukan oleh pejabat yang ditunjuk.
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Pasal ini berisi ketentuan bahwa terdakwa diberi kesempatan untuk membuktikan Harta
Kekayaan bukan berasal dari tindak pidana. Ketentuan ini dikenal sebagai asas pembuktian
terbalik
.
Pasal 36
Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan agar upaya pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana pencucian uang dalam pelaksanaan peradilan dapat berjalan dengan lancar, maka
sekalipun terdakwa dengan alasan yang sah tetapi apabila sampai 3 (tiga) kali dilakukan
pemanggilan untuk sidang tidak hadir, perkara tersebut tetap diperiksa tanpa kehadiran
terdakwa.
Ayat (2) dan Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 37
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk mencegah agar ahli waris dari terdakwa
menguasai atau memiliki Harta Kekayaan yang berasal dari tindak pidana. Disamping itu
sebagai usaha untuk mengembalikan kekayaan negara dalam hal tindak pidana tersebut telah
merugikan keuangan negara.
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “PPATK dalam ayat ini adalah kepala, wakil kepala, dan seluruh
pegawai dilingkungan PPATK.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 40 s.d.Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Dilakukan kerja sama internasional dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
pencucian uang, karena Harta Kekayaan yang ditempatkan (placement), ditransfer (layering),
atau yang diintergrasikan (integration) tidak tertutup kemungkinan peredaran Harta Kekayaan
tersebut dari atau ke luar negeri sehingga dengan kerja sama ini diharapkan dapat dilakukan
upaya pencegahan atau pemberantasan secara lebih efektif.
Pasal 45 dan Pasal 46
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4191
Business News: Nomor

No comments: